Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Tuesday, July 26, 2011

Demi Kepentingan Bangsa(t)

Ini cerita pak Hasanudin Abdulrakhman, Pakar Fisika Molekuler yang sekarang jadi Direktur sebuah perusahaan di Jakarta. Saya kutip dari tulisan beliau di grup Kagama. Mungkin menarik dan terkait dengan KAMMI. he he he

"Tahun 1990-an Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri. Saya waktu itu masih kuliah di UGM. Saya merasa dekat dengan organisasi ini karena beberapa tokohnya adalah dosen-dosen UGM yang sudah saya kenal secara akrab. Bahkan saya turut membantu pelaksanaan beberapa kegiatan ICMI di Yogyakarta.

Setelah berdiri di bawah ICMI kemudian lahir badan-badan lain. Ada koran, lembaga penelitan, bahkan kabarnya ICMI akan punya stasiun TV. Suatu ketika saya berkunjung ke Jakarta. Karena merasa dekat dengan ICMI saya sempatkan untuk singgah di kantor lembaga penelitian yang didirikan ICMI tadi. Dari pembicaraan yang beredar lembaga ini diniatkan untuk menyaingi CSIS, sebuah lembaga think tank milik “kelompok sana”. CSIS dianggap salah satu biang keladi dari berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak pro umat Islam. Artinya, lembaga penelitian milik ICMI ini tadi akan menjadi pembalik sejarah, merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro umat Islam, yang kebanyakan masih kaum dhuafa itu.

Kantor lembaga penelitian ini ada di salah satu ruangan di gedung BPPT di Jl. Thamrin. Tak perlu lah heran, karena Ketua BPPT waktu itu adalah Habibie, yang juga adalah Ketua ICMI. Dan yang saya temukan di kantor itu lebih dari yang saya duga. Semua peralatan, meja kursi, sampai mesin tik, saya lihat merupakan barang-barang inventaris BPPT. Saya pulang ke Yogya sambil terheran-heran, tentu saja. Tapi saya masih berniat melakukan konfirmasi.

Tak lama setelah itu, salah seorang petinggi lembaga tadi datang ke Yogya. Seperti biasa kami yang muda-muda dikumpulkan, diajak berdiskusi. Nah, kesempatan itu saya manfaatkan untuk konfirmasi, bagaimana ceritanya sebuah lembaga non-pemerintah bisa mendapat fasilitas dari lembaga pemerintah. Dalam fikiran saya, harus ada pemisahan yang tegas antara kepentingan orang-orang pemerintah yang kebetulan jadi pengurus ICMI, dengan posisi/jabatan mereka di pemerintah. Saya masih berharap dapat jawaban yang menggembirakan, misalnya bahwa semua fasilitas itu disewa oleh ICMI dari BPPT.

Tapi jawaban yang saya dapatkan sungguh mengecewakan. Petinggi ICMI, yang sekaligus pimpinan lembaga penelitian tadi dengan nada marah, juga melecehkan saya (menyebut saya tidak cerdas), membantah prinsip saya. “Kamu itu sama sekali tidak cerdas. Kami ini bekerja untuk kepentingan bangsa. Apa salahnya kalau kami pakai fasilitas milik negara? Kamu tahu tidak, orang-orang lain sudah lebih dulu menggunakan cara-cara seperti ini. Justru sekarang ini giliran kita!!!”

Walhasil ketika itu saya jadi bahan tertawaan dan cemoohan forum. Tapi saya jadi sadar pada satu hal, bahwa lembaga dan orang-orang semacam ini tak perlu lagi saya dekati. Sejak itu saya menjauh dari ICMI.

Waktu berjalan. Tokoh-tokoh ICMI banyak yang jadi menteri. Tokoh yang saya sebut tadi akhirnya kebagian juga di kabinet Habibie. Sejak awal dia memang mengumbar info bahwa banyak uang negara yang dikucurkan dalam bentuk kredit besar-besar, dan banyak yang macet. Program kerja dia sebagai menteri adalah “membagikan” uang negara untuk rakyat kecil, dalam bentuk kredit juga. Prinsipnya tak jauh beda dengan urusan kursi meja tadi. Orang lain sudah dapat, kini giliran kita.

Kredit yang dikucurkan memang tak diharapkan kembali. Ya itu tadi, orang lain juga tak mengembalikan, kok. Sederhana.

Di kemudian hari tokoh ini mendirikan partai, mencalonkan diri jadi presiden, tapi kalah telak di pemilu. Sekarang sudah jarang terdengar namanya. Tapi anak didiknya di lembaga penelitian tadi masih “jadi orang”. Ada yang jadi petinggi DPR, pejabat di bidang tenaga kerja, juga staf khusus Presiden.

Tak jelas apa yang dihasilkan dari sesuatu yang disebut untuk kepentingan bangsa tadi. Dari sepak terjang mereka terlihat bahwa mereka tak berbeda dengan orang-orang sebelumnya. Mereka berebut kuasa, lalu memperkaya diri. Makanya saya fikir layak kalau saya tambah huruf t di belakang kata bangsa itu. Untuk mereka, ini lebih pas.


Sejak itu saya selalu skeptis pada organisasi yang sejak awal berkoar-koar soal kepentingan bangsa. Terlebih bila sejak awal sudah memanfaatkan fasilitas negara secara tak patut, dan dekat-dekat dengan petinggi negara dalam setiap langkahnya".

No comments:

Post a Comment

sponsor