Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Tuesday, July 12, 2011

Karena Nazaruddin Bukanlah si Pitung

Masyarakat tanah air tentu kenal dengan si Pitung, jagoan kampung dari tanah Betawi yang sering membuat  penjajah Belanda naik pitam. Si Pitung merupakan nama panggilan dari asal kata Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).

Si Pitung

Menurut cerita, si Pitung, tokoh legendaris pada abad ke 19, dilukiskan oleh Belanda sebagai penjahat, perampok, pengacau, dan deretan sebutan negatif lain. Namun, oleh rakyat kecil, si “Robin Hood Betawi” ini adalah pahlawan, jagoan kampung, sosoknya begitu disegani baik oleh lawan maupun kawan.

Salah satu kesaktian Pitung adalah ia memiliki ilmu menghilang. Alkisah, si Pitung pernah terdesak dalam sergapan Belanda di salah satu rumah di bilangan Jembatan pesing. Dalam penyergapan itu, pihak kompeni (istilah lain bagi penjajah Belanda),  tidak menemukan si Pitung. Namun tiba-tiba si Pitung muncul di dapur rumah tersebut.

Kisah seputar kesaktian si Pitung memang belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun, sebagian masyarakat tanah air percaya dengan kisah tersebut. Termasuk, percaya bahwa si Pitung meninggal lantaran ditembak oleh peluru emas milik Schout Van Hinne, musuh bebuyutan si Pitung.

Pro dan kontra banyak menyelubungi kisah legenda Si Pitung, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda. Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah.

Yang pasti bahwa ilmu yang dimiliki oleh si Pitung digunakan untuk kebaikan, melawan penjajah dan melindungi tanah airnya. Si Pitung memang sering mencuri dan merampok harta hasil jajahan Belanda dan kaki tangannya, akan tetapi hasil rampokan tersebut bukan untuk dirinya sendiri.

Jurus Menghilang

Perubahan sosial politik yang terjadi selama ini tidak mampu mengubah paradigma yang disertai sikap tegas dalam memberantas korupsi. Pembentukan berbagai lembaga ad hoc seperti KPK, Ombudsman, dan segala jenis satgas yang lahir dari desakan keadaan –bukan dari inisiatif  yang inheren dengan perubahan sosial yang terjadi-, tidak mampu mengekstraksi kesadaran subtantif untuk kulturisasi dan supremasi hukum.

Relevan menjadikan cerita “Robin Hood Betawi” di atas dengan konteks Indonesia yang hampir tak pernal lepas dari penjajahan. Bukan lagi penjajahan yang dilakukan oleh pihak asing, akan tetapi penjajahan masa kini dilakukan sendiri oleh mereka yang lahir, makan, tumbuh, dan besar di Indonesia.

Berbeda dengan si Pitung atau penjajah yang dihadapinya, saat ini yang terjadi adalah elaborasi hitam diantara keduanya. Artinya bahwa jika si Pitung dengan kemampuannya menghilang, mengambil uang negara atau pemerintah yang merupakan representasi dari penjajah untuk kemudian dibagikan kepada rakyat. Saat ini kontradiktif, yang terjadi justru penjajah yang memiliki jurus menghilang.

Sakit, hilang ingatan, dan apologi sesat lainnya, dijadikan sebagai alasan untuk menghilang dan lari dari jeratan hukum. Pada kesempatan lain, penjajah yang merampok kekayaan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, juga ikut dalam pusaran kekuasaan, berpartisipasi melalui aktivitas yang seolah-olah legal.

Curi-Curi Peluang

Salah satu politisi muda yang menjadi sorot perhatian publik akhir-akhir ini adalah Nazaruddin. Kader Partai Demokrat yang memiliki ilmu menghilang layaknya si Pitung. Tapi tunggu dulu, Nazaruddin menghilang bukan untuk berpindah ketempat lain membantu rakyat yahng tertindas, akan tetapiu Nazaruddin menghilang –entah sengaja ada yang menyembunyikan atau tidak- karena dikejar oleh aparat penegak hukum atas bisnis politiknya yang mehggerogoti uang negara.

Kini entah kemana rimbanya si Nazaruddin. Aksi sekonyong-konyong Presiden SBY menginstruksikan kepada aparat penegak hukum untuk menangkap Nazaruddin juga menimbulkan skeptisme, dicurigai sekadar untuk pencitraan semata.

Karena ternyata perihal migrasi buronan INTERPOL tersebut dari Singapura, sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia beberapa minggu lalu, jauh sebelum ia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Sebagaimana dilansir kementerian Luar Negeri Singapura dalam situs resminya, Selasa (5/7/2011).
SBY terkesan ingin mengamankan Nazaruddin agar tidak terus bernyanyi dan semakin menambah guncangan gempa politik. Aroma curi waktu dengan motif politik pencitraan dari intruksi Presiden SBY ini, didasarkan oleh semakin berlarut-larutnya kasus tersebut hingga memasuki bulan kedua, memberi multiple effect (efek berganda) bagi partai Demokrat dan SBY.



Pertama, menambah keras guncangan instabilitas politik di internal partai.  Sebagaimana diketahui, Nazaruddin masuk dan menjadi Bendahara Umum Demokrat berkat kebaikan Anas. Kedekatan hubungan tersebut tentu menyudutkan. Efek politik jangka panjangnya akan mempengaruhi performa Anas, baik ditingkatan DPP maupun DPD-DPD Demokrat, walaupun kemudian Anas juga mulai keras menyampaikan statement di media agar Nazaruddin ditangkap.

Celah ini menjadi angin segar bagi faksi Andi Alfian Mallarangeng yang merupakan seteru Anas saat Kongres di Bandung Mei tahun 2010 lalu. Wacana Kongres Luar Biasa bisa saja menjadi semakin menguat, mengingat Nazaruddin sempat menyebut kalau Anas turut menerima aliran dana untuk membiayai Kongres di Bandung tahun 2010 lalu dan untuk persiapan Pilpres 2014. Selain itu forum komunikasi yang dibentuk oleh para pendiri Demokrat juga semakin merusak integritas kepemimpinan Anas.

Kedua, tak syak lagi, nyanyian Nazaruddin dengan terus menyebut elit Demokrat terlibat dalam kasusnya menyebabkan terjadinya distrust (ketidakpercayaan) publik atas janji-janji manis Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk memberantas korupsi. Karena faktanya, Demokrat sendiri sudah menjadi hunian nyaman bagi koruptor.

Persepsi sumir tersebut tentu akan diikuti dengan migrasi suara. Sebagaiamana lansiran Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan pada 29 Mei 2011 lalu, Demokrat merupakan partai yang pemilihnya tidak stabil, rentan mengalihkan pilihan jika sedikit saja ada kesalahan. Hal ini dikarenakan pemilih Demokrat didominasi oleh pemilih rasional.

Oleh karenanya, jika tidak dilakukan upaya pencitraan, maka bisa dipastikan daya magnetis Demokrat melemah secara drastis. Ini bisa kita baca dari makin anjloknya kepercayaan publik pada pemerintahan SBY sebagai representasi Partai Demokrat.

Inilah kekhawatiran besar Partai Demokrat, perolehan suaranya bisa semakin anjlok melebihi anjloknya angka-angka yang dilansir berbagai lembaga survei. Maka pada titik ini intruksi SBY untuk menangkap Nazaruddin dapat dibaca sebagai upaya memanfaatkan momentum serangan Nazaruddin untuk juga “menyerang”.

Nazaruddin hanya sampel kecil dari gunung es raksasa perilaku politisi, pengusaha, dan pejabat negeri ini yang kerjanya merampok uang negara kemudian menghilang. Nazaruddin Demokrat hanyalah satu dari sekian banyak Nazaruddin lain yang memiliki ilmu yang sama. Ilmu menghilang. Sayang sekali mereka bukan si Pitung, menghilang sesaat tapi muncul ketika dibutuhkan. Datang ke tempat lain membantu rakyat kecil dan melawan penjajah. Kini, yang ada malah yang menghilang juga yang “menjajah”. Naudzubillah!

Jusman Dalle
Penulis adalah Pengurus Pusat KAMMI dan Analis Ekonomi Politik Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute

No comments:

Post a Comment

sponsor