Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Monday, July 25, 2011

Kertas Posisi KAMMI UGM tentang Dinamika Internal KPK Pasca-Nazaruddin-Gate

Latar Belakang
Pernyataan Nazaruddin di media beberapa hari ini seakan menjadi “badai” dalam pentas politik nasional. Secara gamblang, Nazaruddin mengemukakan informasi-informasi politik yang langsung mengarah ke beberapa tokoh Partai Demokrat dan pimpinan KPK. Tentu saja, ini mengguncang kiprah Partai Demokrat yang selama ini membawa jargon anti-korupsi.

Apa yang menjadi masalah dalam statement tersebut? Tak lain, tudingan bahwa adanya deal antara Chandra Hamzah, Ade Rahardja, dan Anas Urbaningrum yang telah membawa kasus ini bergulir tajam. Chandra diduga menerima uang suap untuk kasus korupsi pengadaan seragam hansip. Ini perlu disikapi oleh segenap elemen masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa, tak terkecuali KAMMI.


Problem
Persoalan yang muncul adalah mengenai tudingan bahwa Chandra Hamzah dan Ade Raharja juga terlibat dengan deal-deal politik mengenai isu korupsi yang mereka tangani. Jika keterangan itu benar adanya, ini menjadi preseden buruk atas KPK, mengingat posisi kedua orang yang disebut oleh Nazar tersebut saat ini adalah komisioner serta deputi Penindakan KPK. Tentu saja, ini merupakan bentuk korupsi politik: praktik perselingkuhan modal, kekuasaan, dan manipulasi hukum demi kepentingan orang-seorang.

Vedi R. Hadiz (2001) jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa disfungsi partai politik dapat mengarah pada praktik korupsi. Sebab, dengan kewenangan yang besar tetapi dengan mentalitas warisan Orde Baru yang koruptif, korupsi masih dapat terus menyebar ke segala bidang. Ia menyebutnya sebagai “oligarki yang terkonsolidasi kembali”, karena praktik korupsi politik sebetulnya telah terjadi jauh-jauh hari, sejak era Presiden Soeharto.

Perselingkuhan modal dan kuasa adalah bentuk jamak korupsi politik di Indonesia. Ini juga terjadi di Indonesia pasca-transisi yang justru melibatkan anggota DPR, pejabat kementerian, serta elit partai politik. Jika tidak segera diusut tuntas, persoalan ini akan segera menjadi bola liar dan justru akan kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi yang sudah menjadi agenda utama sejak Reformasi 1998.

Di lain pihak, ini hal ini juga akan berpengaruh terhadap seleksi calon pimpinan KPK yang akan segera berlanjut ke tahap selanjutnya. Sampai saat ini, ada sekitar 142 nama yang lolos sebagai calon pimpinan KPK. Di antara ke-142 nama tersebut, muncul nama Chandra Hamzah dan Ade Rahardja. Tentu saja, keterlibatan keduanya tidak segera diusut tuntas dalam kasus Nazaruddin, kita akan mendapati penelikungan terhadap gerakan antikorupsi di negeri ini.

Mengapa kita perlu menyelamatkan KPK dari korupsi? Sampai saat ini, KPK adalah lembaga yang sangat diharapkan kiprahnya dalam pemberantasan korupsi. Ia mengemban amanah UU 30/2002 yang semangatnya adalah adanya komisi yang concern terhadap pemberantasan korupsi. Secara kelembagaan, KPK mesti dikuatkan dan dibersihkan dari anasir-anasir yang kontraproduktif terhadap semangat pemberantasan korupsi di negeri ini.

Pun begitu pula dalam bidang yudikatif. Praktik mafia peradilan yang “tercium baunya namun tak tampak bentuknya” masih saja terjadi di negeri ini. Statement Suparman Marzuki, komisioner KY, mengenai adanya mafia calon hakim menyiratkan sebuah fenomena bahwa dugaan mafia peradilan hingga kini masih terus terjadi. Ini juga perlu disikapi dalam semangat pemberantasan korupsi.

Dalam konteks Indonesia, Korupsi adalah problem ekstraordiner yang pemberantasannya juga memerlukan pendekatan yang ekstraordiner pula. Jika kita bersepakat untuk memerangi korupsi, maka kita juga perlu concern terhadap perilaku korupsi di berbagai bidang, terutama korupsi anggaran atau korupsi di sekeliling proyek pengadaan barang atau jasa. Terungkapnya kasus suap pengadaan wisma atlet yang melibatkan Nazaruddin menyiratkan bahwa praktik percaloan anggaran yang melibatkan partai politik dan pemodal besar harus segera kita benahi agar tidak menimbulkan korupsi di kemudian hari.

Kasus suap proyek yang melibatkan Nazaruddin, juga persoalan traveller’s cheque yang melibatkan Nunun Nurbaeti dan kasus-kasus korupsi lain harus segera mendapatkan penanganan serius. Dan ini hanya akan berjalan dengan prakondisi yang jelas: KPK harus segera diselamatkan dari korupsi dan penyanderaan oleh partai politik penguasa.

Penyikapan
Maka dari itu, berdasarkan hasil konsolidasi dan diskusi yang digelar oleh AMUK bersama-sama beberapa elemen gerakan dan masyarakat sipil –di antaranya KAMMI— ada beberapa hal yang menjadi catatan penting.

Pertama, perlu untuk membentuk tim independen yang akan mengusut masalah internal KPK. Tim independen ini bukan berasal dari internal KPK, melainkan juga melibatkan pihak luar yang punya integritas. Ini sempat dilakukan ketika Refly Harun menyatakan adanya masalah di antara hakim-hakim MK, yang ditindaklanjuti oleh Ketua MK dengan membentuk tim independen yang dipimpin Refly sendiri.

Kedua, segera selesaikan kasus Nazaruddin tanpa harus menunggu kepulangan Nazaruddin ke Indonesia. Bukti dan fakta hukum yang berseliweran di antara kepentingan politik harus segera dieksekusi dengan mengusut orang-orang yang disebut oleh Nazaruddin terlibat dalam pelbagai kasus suap dan korupsi.

Dua hal ini akan menjadi entry-point untuk penyelidikan kasus-kasus korupsi lain, terutama yang berkaitan dengan suap dan praktik percaloan anggaran secara korup.

Penutup
Maka dari itu, KAMMI UGM berkesimpulan bahwa KPK harus segera diselamatkan dari korupsi dengan membersihkan orang-orang yang ada di dalamnya. Jangan sampai persoalan ini menyandera posisi KPK sendiri secara kelambagaan dan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah coba dibangun sejak awal. Bergeraklah, kawan, selamatkan KPK dari Korupsi!

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Ketua Departemen Kajian & Keilmuan KAMMI Komisariat UGM

No comments:

Post a Comment

sponsor