Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Thursday, July 14, 2011

MTQ dan Anarkisme Mahasiswa

Anarkisme sudah menjadi brand image mahasiswa di Makassar. Hal itu tidak terjadi dengan sendirinya, tapi ada proses kausal yang melatari. Asumsi  tersebut bisa kita lihat dari berbagai pemberitaan seputar tawuran, pengrusakan fasilitas umum, pengrusakan fasilitas kampus, bentrok dengan aparat kepolisian hingga bentrok dengan petugas pengamanan kampus. Bahkan pernah diberitakan  dan diblow up oleh media massa, tentang mahasiswa Makassar yang bentrok dengan masyarakat.

Kejadian yang tentu sangat memalukan karena mencederai predikat mahasiswa dengan simbolisasi intelektual dan juga ikon perlawanan untuk membela hak-hak rakyat. Terlepas dari permainan provokator, tapi itulah faktanya.
Jika dilihat secara objektif, sebenarnya, bukan hanya mahasiswa di Makassar yang sering tersulut dan bertindak anarkis. Anarkisme bisa terjadi di mana saja. Misalnya baru-baru ini mahasiswa Universitas Pattimura di Maluku, dibakar setelah terjadi bentrok antar mahasiswa.

Pun dengan mahasiswa di Ibu Kota Jakarta juga tak luput dari aksi tawuran. Seperti yang beberapa kali terjadi antara mahasiswa UKI vs mahasiswa YAI, juga baru-baru ini (17/6/2011) terjadi tawuran di Mercu Buana. Akan tetapi, sekali lagi bahwa publik sudah membranding anarkisme milik mahasiswa di Makassar. terjadi Fallacy of dramatic instance. Satu atau dua kejadian, kemudian di-overgeneralize.
Tidak etis jika menyalahkan media atas pemberitaan tersebut. Karena salah satu variabel yang menjadi pertimbangan media dalam menurunkan suatu berita. Selain berdasarkan fakta lapangan, juga nilai berita dari kejadian tersebut.
Setiap kali penulis berbincang secara langsung atau melalui jejaring sosial dengan rekan-rekan aktivis mahasiswa dari luar Makassar, pertanyaan mereka serupa. Tidak jauh-jauh dari “ada isu apa lagi di Makassar?” atau “apa kabar aktivis Makassar, ada demo apa lagi?”.

Sampai di sini, pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut menyiratkan pesan mendalam bahwa progresifitas mahasiswa Makassar dalam merespon berbagai isu yang kemudian ditampilkan ke media, secara tidak langsung diakui dan ditunggu oleh rekan-rekan mahasiswa dari luar
.
Akan tetapi, pertanyaan lain selalu mengikuti. Misalnya “Kenapa kok teman-teman di Makassar suka bentrok” atau “Kok tawuran lagi?” dan pertanyaan pertanyaan lain yang identik. Ternyata tampilan tampilan yang garang di media, mengontruksi image tersebut sedemikian rupa. Bahkan ada yang pernah berseloroh “Kalau pusat pemerintahan di Makassar, kayaknya Presiden tidak bisa bekerja. Karena setiap hari pasti didemo.”

Bahkan kita pun sering mendengar kabar bahwa mahasiswa Makassar selalu kesulitan diterima bekerja di luar  Sulawesi Selatan. Jika sudah seperti ini, maka masa depan mahasiswa yang salah satu tujuannya kuliah untuk memuluskan jalan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, menjadi terancam.

Padahal masih banyak mahasiwa lain yang berprestasi dan bisa membuat kita bangga, sekaligus meningkatkan bargaining (nilai tawar). Misalnya, rekan-rekan yang menjadi juara nasional Lomba Debat Konstitusi, atau menjadi juara dalam ajang Kontes Robot Indonesia dan sederet prestasi lainnya yang tidak terpublish. Namun  sekali lagi, semua itu luput dari pantauan publik, tereduksi oleh berita dan stigma negatif yang sudah terlanjur terbentuk lebih awal.

Berangkat dari titik keresahan ini, sering kali penulis sharing dengan rekan-rekan dari berbagai kampus untuk mencari formulasi solutif agar intensitas anarkisme bisa dikurangi atau bahkan kita tentu inginkan anarkisme itu tidak lagi menjadi kosakata yang dipadu padankan dengan mahasiswa.

Olah Spiritual dan Intelektual
Di bulan  Juli ini  ada dua momentum tepat dijadikan sebagai titik balik  untuk merekonstruksi image positif mahasiswa Makassar.  dua momentum yang secara elaboratif menggambarkan asa holistik yang menjadi pradigma konstruktif bagi  insan akademik Indonesia. Dua momentum tersebut  adalah Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Mahasiswa (MTQ-M) se Indonesia dan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS).

MTQ-M ke XII yang baru saja dilaksanakan di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Konten acara MTQ-M yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas. Karena subtansi materi yang dilombakan bersumber dari Al Qur’an. Baik secara tekstual misalnya lomba membaca Al Qur’an (tajwid, tartil, hifdzil, dan lain-lain) maupun secara kontekstual.
Misalnya lomba karya tulis ilmiah, lomba debat berbahasa arab, semua bermuara pada khazanah Qur’ani sebagai pedoman hidup umat Islam. Maka, tak syak lagi, secara simbolik MTQ-M ini menjadi panggung “demonstrasi”  spiritual mahasiswa se Indonesia.

Akan tetapi ada yang jauh lebih penting dari sekedar memenangkan lomba dan membawa piala untuk dipajang sebagai prasasti ketangguhan dan kedalaman ilmu yang sangat simbolistik, khsusnya pemahaman tentang Al Qur’an. Tugas selanjutnya yaitu, menginternalisasi spirit dari MTQ-M ini.

Baik spirit kesucian wahyu-wahyu Allah SWT yang menjadi petunjuk bagi umat manusia, maupun spirit kompetisi yang memang seharusnya dimiliki oleh insan akademis. Bahwa bagi umat Islam, Al Qur’an merupakan padu pandang ke depan atau way of life.
Ajaran Islam dengan Al Qur’an sebagai panduan utama, menjunjung tinggi moralitas dan berulang kali di dalamnya (Al Qur’an) Allah SWT menegaskan betapa penting ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Bahkan dalam satu ayat, ilmu pengetahuan menjadi salah satu dimensi stratifikasi di hadapan Allah SWT. Orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan ditinggikan derajatnya.

Sementara itu PIMNAS ke XXIV yang akan diadakan di Unhas pada 18-22 Juli mendatang, merupakan simbolisasi intelektualitas. Karena di sana, mahasiswa-mahasiswa terbaik  dari berbagai perguruan tinggi se tanah air akan mengadu tingkat kecerdasan dengan pradigma insan akademis yang ilmiah tentunya. Menjadi panggung demonstrasi intelektualitas.

Secara elaboratif, jika kita tarik irisan dari kedua kegiatan yang dilaksanakan oleh dua universitas tertua di Sulsel ini, maka sangat jelas transendensi iman dan profanisasi  ilmu pengetahuan akan membentuk harmoni yang holistik.
Pada tahap inilah, kita berharap bahwa dua agenda insan akdemik yang berskala nasional tersebut tidak hanya menjadi ajang seremony hampa makna dan gersang nilai, setelahnya. Pasca MTQ-M dan PIMNAS, maka semangat bagai gelombang Anging Mammiri dan energi progresif  demonstran-demonstran Makassar, menjadi milik mahasiswa se tanah air, yang diwakili oleh kontingen kampus masing-masing.

Spirit kompetisi dari dua momentum tersebut, jika dipertahankan dan ditumbuhkan secara terus menerus antar generasi, penulis yakin akan mampu menghilangkan  image negatif  terhadap mahasiswa, terkhusus mahasiswa Makassar. Karena mahasiswa akan disibukkan oleh kompetisi untuk menyalurkan energi positif, sehingga tak ada lagi waktu untuk bertidak atau bahkan sekedar berfikir anarkis.

Terakhir, apresiasi besar tentu kita berikan kepada dua institusi pendidikan tersebut yaitu UMI dan Unhas, telah berani menjadi tuan rumah pada even berskala nasional yang pengelolaannya tidak sederhana.

Anak muda sering kali butuh treagger untuk melecut potensi positif yang bersemayam di dalam dirinya. Terkhusus kepada rekan-rekan mahasiswa Makassar, jadikanlah dua momentum tersebut sebagai treagger dan titik balik. Sehingga pelaksanaan MTQ-M dan PIMNAS menoreh sejarah bagi dunia pendidikan kita, bukan sekedar seremony hampa makna.

KETERANGAN :
*Penulis adalah Mantan Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Makassar Periode 2009-2010.
 KETERANGAN :
*Penulis adalah Mantan Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Makassar Periode 2009-2010 . Saat ini diamanahi di Departemen Hubungan Masyarakat Pengurus Pusat KAMMI. Selain itu, penulis  juga aktif di Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute sebagai analist Ekonomi-Politik. Karya karya tulisan maupun design grafis bisa dinikmati di blog  JUSMAN-DALLE.BLOGSPOT.COM 

No comments:

Post a Comment

sponsor