Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Monday, July 25, 2011

Puncak Piramida Politik Borjuasi

Berbagai cara dilakukan untuk menangkap Muhanmmad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang menjadi tersangka proyek Wisma Atlet Sea Games di Palembnag. Mulai dari cara konstitusional melalui instruksi Presiden SBY kepada aparat penegak hukum, hingga cara kolosal bak kerajaan, berupa sayembara dengan imbalan Rp100 juta, seperti yang dilakukan oleh Lumbung Informasi Rakyat (LIRA).

Keretakan Demokrat

Namun hingga kini, buron Interpol tersebut tak jua berhasil ditangkap. Bahkan nyanyian politisi muda yang telah dipecat dari Partai Demokrat tersebut, menimbulkan keretakan. Berawal dari SMS Marzuki Alie, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang meminta SBY melakukan tindakan tegas untuk menyelamatkan partai. 


SMS tersebut berlanjut polemik, bahwa Marzuki ditengarai berniat melakukan kudeta atas kepemimpinan Anas, yang menurutnya tidak lagi efektif. Gempa politik  yang berlarut-larut dan terus mengguncang gegerkan Partai Demokrat, hanyalah puncak dari piramida kebusukan parpol yang perlahan-lahan terkuak. Penulis mengistilahkan sebagai puncak piramida politik borjuasi.

Kita saksikan secara telanjang mata, bagaimana korupsi berjamaah melibatkan elit partai. Mereka yang mengesahkan anggaran di legislatif dan yang menggunakan anggaran di eksekutif, bermain mata untuk memenuhi keuangan partai, dan tentu juga tak sedikit yang dialirkan ke kantong pribadi.

Hal ini dilakukan hampir oleh semua partai politik. Maka kita menyaksikan transisi demokrasi yang terjadi selama ini, ternyata tidak mampu melahirkan mainstream dan paradigma baru sebagai antitesa demokrasi era orde baru yang membentuk oligarki dan menjadikan kekuasaan sebagai alat legitimasi dalam merampok kekayaan negara.

Demokrasi Indonesia kontemporer, memperlihatkan bahwa partai politik malah disandera oleh kepentingan sesaat dan sesat. Menyimpang jauh dari fungsi utamanya. Partai politik sekadar dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih keuntungan bagi pribadi dan kelompok.

Di tengah masa transisi menuju konsolidasi demokrasi, partai politik seharusnya berperan progresif. Menjadi saluran aspirasi yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Namun situasi sekarang ini justru menunjukkan partai politik menjadi bagian dari deretan masalah.

Sumber Keuangan Parpol

Kenyataan tersebut tidak lepas dari sistem demokrasi liberal yang high cost (biaya tinggi). Sementara di satu sisi, Pasal 34 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol) menyebutkan, keuangan parpol berasal dari tiga sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBD/APBN.

Kriteria perseorangan (sah menurut hukum) bukan termasuk sumbangan dari anggota partai yang bersangkutan. Batasannya yaitu sebesar Rp. 1 miliar dalam setiap tahun anggaran. Perusahaan atau badan usaha bisa menyumbang hingga Rp. 7,5 miliar per tahun anggaran.

Sementara itu sumbangan dari anggaran negara sangat terbatas, baik dari APBN maupun APBD. Itupun berdasarkan jumlah suara parpol pada pemilu sebelumnya. Informasi dari Kementrian Dalam Negeri menyebutkan sebesar Rp. 108 setiap satu suara per tahun. Artinya partai sekelas Demokrat dengan jumlah suara  21.703.137, hanya memperoleh Rp2.343.938.796 (Rp2,3 M) per tahun. Angka Rp2,3 M pertahun ini jauh dari cukup untuk membiayai operasional partai ditingkatan DPP.

Jika berharap dari sumbangan eksternal sebagaimana disebutkan di atas, maka secara realitas dapat dipastikan bahwa sumbangan resmi yang diperoleh setiap parpol tidak mencukupi jika digunakan untuk menutup kebutuhan parpol. Apalagi, parpol tidak dibenarkan memiliki perusahaan. Praktis, sumbangan yang diterima tiap parpol relatif lebih kecil ketimbang keperluan anggaran partai apa pun.

Lain halnya dengan iuran anggota partai yang tidak dibatasi. Sehingga bisa saja, setiap anggota partai politik nyetor hingga ratusan miliar dalam setiap tahun anggaran. Maka celah ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk merekrut politisi yang bisa mereka manfaatkan untuk menyuplai bahan bakar bagi dapur partai. Tentu disertai kontrak atau konsensus dengan prinsip sama-sama menguntungkan. Mereka biasanya berasal dari kalangan pengusaha.

Terjadi perselingkuhan antara parpol dan pengusaha. Posisi pengusaha di partai politik, apa lagi di partai berkuasa yang memiliki kursi di kabinet memungkinkan mereka mengakses proyek-proyek pemerintah. Maka tak heran jika tak kurang dari 40 persen anggota DPR berlatar belakang pengusaha. Mereka inilah yang menjadi pipa, mengalirkan dana ke partai politik.

Tak heran jika persaingan antara pengusaha lintas parpol sering kali kita saksikan. Mereka merampok uang negara dengan dilegalisasi melalui poryek-proyek fiktif oleh perusahaan-perushaan bodong, yang dalam waktu sekejap tiba-tiba memiliki aset triliunan.

Inilah yang dikatakan oleh Mancur Oslon (2000) di dalam bukunya yang berjudul Power and Prosperity, dengan mengambil sampel pada negara Uni Soviet ketika memasuki fase transisi menjadi negara demokrasi. Menurut Oslo, masa tersebut sebagai periode yang justru menjadi kesempatan bagi bertakhtanya para bandit. Yaitu penjahat kelas kakap, atau penjahat ulung yang sudah berpengalaman dan memiliki jam terbang yang tinggi.

Dalam terminologi demokrasi, bandit tentu lekat dengan konteks politik-kekuasaan. Keberadaan bandit tidak dapat kita lihat dari satu variabel. Namun ada banyak sebab sehingga perbanditan menjadi gurita ditengah berlapisnya sistem dan lembaga yang diharapkan bisa menghilangkan atau sekedar mereduksi kualitas dan kuantitas bandit.

Salah satunya adalah persilangan power (kekuasaan) dan kepentingan ekonomi. Jejaring yang telah terbentuk pada semua level sektor vital semakin mengukuhkan posisi para bandit. Mulai dari level birokrasi, ekonomi, dan  hukum, semua telah dilumpuhkan.

Demokrasi Borjuasi

Tak perlu heran jika sejak dulu, kehidupan bangsa ini hanya ada di tangan sekelompok kecil orang. Mereka adalah bandit yang pada akhirnya bertransformasi menjadi kelompok borjuis. Linier dengan tuntutan kompetisi demokrasi liberal, secara alami menyaring dan menggugurkan mereka yang pundi-pundi keuangannya lemah.

Akhirnya elit terkondisikan pada orientasi ekonomi. Politik untuk rakyat menguap begitu saja, karena perhatian hanya terpusat pada etika utilitarian yang lahir dari rahim materialisme. Etika ini menyelubungi sistem partai politik yang mengusung sitem moral Darwinisme  “the survival fo the fittes”, yang memuja kultus pemenang dengan ukuran material.

Kenyataan tersebut berbanding lurus dengan arus pragmatisme yang menjadi jiwa sebagian besar Parpol di Indonesia.  Pragmatisme bisa kita sampling dari kejadian yang menimpa Partai Demokrat saat ini. Pola rekrutmen (kaderisasi) partai yang tidak berjalan, Nazaruddin yang dulunya adalah Calon Anggota Legislatif –yang gagal- di partai lain, memiliki ruang  untuk loncat ke Demokrat.

Satu pelajaran berharga bahwa pola rekruitmen dengan mengedepankan tokoh instan, populer dan yang paling utama memiliki kemampuan funding yang besar sebagai daya ungkit elektoral, bukanlah jaminan untuk semakin membesarkan dan mengokohkan partai.  Hal ini justru menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Apa lagi dengan kekuatan investigasi media yang mampu menguak kasus-kasus tersembunyi.

Solusi

Politik era borjuasi yang dicirikan pengarusutamaan sokongan dana,  sudah saatnya ditinggalkan. Bahwa demokrasi dilahirkan oleh kaum borjuis, sudah diketahui dan nampak nyata. Maka sebagai bagian dari masyarakat politik, peran kita sebagai antitesa untuk menghentikan laju politik borjuasi tersebut, tentu menjadi variabel penentu. Bukan saja puncak piramida yang harus kita runtuhkan, akan tetapi hingga ke pondasi dan dasar dari politik borjuasi tersebut. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh.
Pertama dimulai dari sikap selektif dalam menyalurkan hak politik. Dalam hal ini, dukungan dari kelompok civil society untuk melakukan pendidikan politik (political education) kepada masyarakat, memiliki peran signifikan. Baik dari LSM, tokoh lintas agama, maupun gerakan mahasiswa. Dibutuhkan sinergi diatara elemen-elemen tersebut.

Kewajiban ini sejatinya dilakukan oleh partai politik, namun faktanya sangat jarang partai politik melakukan political education. Yang ada hanya penyesatan dan eksploitasi politik.

Kedua, mendorong supremasi hukum tanpa pandang bulu dengan optimalisasi lembaga penegak hukum yang berlapis. Baik lembaga resmi negara maupun lembaga ad hoc seperti KPK dan Satgas Anti Mafia Hukum.
Dibutuhkan aparat penegak hukum yang terlepas dari berbagai kepentingan dan jaringan kekuasaan. Karena distrust terhadap aparat penegak hukum di mata publik saat ini, diakibatkan oleh tidak terlepasnya mereka dari intervensi kekuasaan.

Ketiga, memanfaatkan keterbukaan ruang publik untuk melakukan pengawasan terhadap semua entitas penguasa baik di level eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Menutup semua celah yang memungkinkan mereka melakukan perselingkuhan.

Jusman Dalle*
• Humas Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
• Dan bekerja sebagai Analis Ekonomi Politik di Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
• Ratusan artikel penulis telah dipublikasikan oleh media massa lokal dan nasional seperti : Tribun Timur, Banjarmasin Post, Mata Banua, Lombok Pos, Harian Fajar, Harian Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, detik.com, okezone.com, dll

No comments:

Post a Comment

sponsor