Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Friday, August 19, 2011

Momentum Memperluas Paham Agama


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

KH MAS MANSYUR pernah memberi kita sebuah nasihat bagus: "Hendaklah faham agama yang sesungguhnya (murni) dibentangkan seluas-luasnya, diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita mengerti dan meyakinkan bahwa Agama Islam yang paling benar, ringan dan berguna, hingga merasa nikmat mendahulukan amalan keagamaan itu".

Belajar Disiplin

Ikhtilaf
Nasihat tersebut kemudian ditetapkan menjadi salah satu dari 12 Langkah Muhammadiyah. Maknanya, agama Islam tidak mengikat paham pada pemeluk-pemeluknya untuk hanya memahami persoalan agama secara tunggal, baik dalam segi ibadah maupun muamalah duniawiyah. Ada beragam hadits dan beragam pendekatan dalam memutuskan perkara fiqh, sehingga tidak mungkin dipersempit hanya menjadi satu macam jalan beragama.

Salah satu qa'idah ushul fiqh menyebut bahwa hukum-hukum Islam dapat berubah-ubah dengan mengingat keadaan orang. Oleh sebab itu, hendaknya dalam beragama tidak hanya satu pendekatan yang dipertimbangkan, melainkan juga pendekatan yang lain untuk di-tarjih dan diputuskan kedudukan hukumnya agar bisa berlaku bagi umat.

Hikmahnya yang lain, kita dituntunkan untuk tidak bersikap fanatik mazhab atau fanatik jamaah, melainkan menjadikan semuanya sebagai sumber keragaman dalam khazanah Islam yang memperkaya satu sama lain. Inilah yang dimaksud oleh KH Mas Mansyur sebagai "memperluas paham agama".

Berbeda adalah hal yang sangat niscaya dalam kehidupan ini. Allah sudah menggariskan dalam firman-Nya di surah Al-Hujurat: 13, "Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai suku dan bangsa, supaya kamu berkenal-kenala . Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa di antara kamu".

Dari ayat tersebut, sudah jelas bahwa perbedaan di antara manusia adalah fitrah. Akan tetapi, perbedaan dalam soal agama hendaknya tidak menjadi konflik berlarut-larut. Rasulullah sudah memerintahkan kita untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika berselisih paham dalam agama.

Wednesday, August 17, 2011

sekali merdeka, merdeka sekali


Momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke 66 pada 17 Agustus tahun 2011 ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Peristiwa serupa juga terjadi pada 66 tahun silam, saat Indonesia diproklamirkan sebagai bangsa merdeka. Setelah melalui perjuangan panjang selama lebih dari tiga abad, Jum’at 17 Agustus 1945 Masehi bertepatan dengan 9 Ramadhan 1334 Hijriyah, dari bangsa terjajah yang dipecah belah oleh politik devide et impera kompeni,  Indonesia bertransformasi menyatakan kemerdekaan sebagai bangsa yang bersatu dan berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Bukan suatu kebetulan jika pertemuan momentum tersebut kembali terulang pada tahun ini. Di sana ada pesan sejarah yang sangat kuat untuk kita maknai. Penulis berkeyakinan bahwa Allah SWT yang telah menganugerahi berkat dan rahmat-Nya kepada negeri berpenduduk mulsim terbesar di dunia ini, sebagaimana diyakini dan dituliskan di dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, hendak menyentak kesadaran kita tentang cara kita mengisi kemerdekaan. Cara memaknai rentang waktu yang dilalui bangsa. Kita seharusnya memutar memory, dan dengan demikian semoga kesadaran reflektif itu muncul kembali, seperti kesadaran merdeka yang dimiliki oleh para pendiri bangsa kala itu. 

Tuesday, August 16, 2011

Al-Qur'an, Kemerdekaan dan Pengetahuan

Gegap gempita kemerdekaan RI sudah mulai terasa malam ini. Tak terasa, besok segenap pegawai negeri sipil dan pelajar akan melaksanakan upacara bendera sebagai sebuah penanda peringatan 66 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Bendera merah putih dipasang di depan rumah, menambah semarak kemerdekaan di usia republik yang tak lagi muda ini.

Ternyata bukan hanya kemerdekaan yang menyita perhatian kita. 17 Agustus tahun ini juga bertepatan momentumnya dengan tanggal 17 Ramadhan, momentum peringatan nuzulul qur'an. Di masjid-masjid diadakan pengajian untuk menyambutnya. Tadarrus mulai digalakkan sebagai sebuah penanda mulai turunnya Al-Qur'an dari Surah Al-Alaq: 1-5.

Rupanya, Ramadhan kali ini begitu istimewa. Dua momentum besar bertepatan dalam satu waktu. Dan dua momentum tersebut sangat berharga bagi umat Islam Indonesia. Apa yang mempertemukan keduanya?

Tujuan Kemerdekaan
Anies Baswedan merefleksikan kemerdekaan RI tahun ini dengan begitu mantap. "Narasi kemerdekaan bukanlah sebuah ekspresi cita-cita semata", tulisnya, "tetapi ia adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global".

Thursday, August 11, 2011

Merebut [dari dan untuk] Masa Depan (Resensi buku Merebut Masa Depan)


Oleh: Uum Heroyati dan Nunik Yuniati**
DALAM konteks sebagai muslim sekaligus sebagai warga Negara, gelisah merupakan hak sekaligus kewajiban. Ini adalah fitrah yang membawa arus perubahan dalam sejarah yang menjadi—semacam—dentuman yang “membahayakan”. Walau mesti diakui bahwa sering kali kegelisahan membawa pelakunya ke lubang “kematian”; namun penulis—sebagaimana yang diungkap dalam buku ini (meminjam pernyataan penulisnya suatu ketika, “Itupun jika layak dinamai buku”)—mengajak kita semua untuk sesekali gelisah, (asal) dilanjutkan dengan mematangkan diri secara massif agar tidak terjebak ke dalam lubang yang sama berulang-ulang.
Dengan percaya diri—karena keyakinan dan tekad—penulis buku ini mengingatkan bahwa kita hadir sebagai umat Islam sekaligus sebagai warga Negara—dengan berbagai macam hak dan kewajibannya—memiliki potensi (baca: keunggulan) dan kelemahannya masing-masing, untuk mewujudkan satu kata dalam ruang nyata: perubahan. Perubahan adalah idiom sederhana, namun ia merupakan garansi untuk cita-cita masa depan; sebuah zaman dimana kita dan banyak orang ikut menghadirkannya dan bahkan hidup di dalamnya. Perubahan adalah suatu takdir sejarah yang akan dipergilirkan. Karena itu, kita tak perlu pesimis dengan perubahan selain ikut terlibat menghadirkannya.
Dalam buku ini penulisnya berbicara apa adanya mengenai Indonesia (Negara yang dihuni oleh berbagai latar manusia, tempat dimana kita tinggal kini), tentang Islam (sebuah sistem yang mengarahkan kehidupan kita, bagaimana semestinya kita mengeja kehidupan) dan tentang Peradaban Dunia (sebuah kenyataan (baca: sejarah) global yang kelak menjadi tempat sistem atau Islam yang kita yakini itu berjaya ria). Penulisnya seperti terinspirasi oleh gagasan Malik bin Nabi yang mengatakan bahwa peradaban (baca: masa depan) merupakan kisah mengenai tiga variabel utama: manusia, sistem dan sejarah. Buku ini ditulis dalam tiga tema besar itu, yang dengan bahasa lain penulisnya ‘memodelkannya’ ke dalam tiga pembahasan utama seputar Ke-Indonesia-an, Ke-Islam-an dan Peradaban Dunia (Islam).

Sekulerisme: Paham Berkelamin Ganda


Oleh : Syamsudin Kadir*
Pengertian
Secara filologis, kata sekuler (secular) adalah kosakata asing bagi kaum muslimin. Karena itu, menelusuri jejak kata, makna, sejarah dan konsep sekularisasi sangat diperlukan agar kita tidak mudah mengadopsi, mewarisi dan memodifikasi konsep tersebut secara latah, dangkal, dan ceroboh. Sebab jika tidak, maka kita akan masuk satu pemahaman yang sangat membahayakan. Bahkan alih-alih membawa kita kepada jalan yang menyesatkan.
Kata sekuler bisa dimaknai sebagai konsep ‘kekinian dan kedisinian’, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). ‘Di sini’ berarti dunia, dan ‘kini’ berarti konteks sejarah. Saeculum (Latin) sebagai akar kata sekuler berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual).
Sekularisme dalam timbangan
Mengenai definisi sekulerisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna “isme” yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua “isme” adalah ideologi, ataukah tidak semua “isme” merupakan ideologi? Hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekulerisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan Gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan dengan alasan agar lebih masuk akal.
Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekulerisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan Negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya, Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekulerisme pada masa tersebut disebut sekulerisme moderat.
Dalam konteks peradaban Barat, semaraknya perkembangan sains dan teknologi mendorong munculnya upaya di kalangan teolog Kristen merelevansikan ajaran Injil dengan perkembangan zaman. Sederhananya, Bibel perlu diinterpretasikan. Bahkan tak berhenti hanya sampai di situ, otentisitas teks Bibel itu sendiri yang selama ini dipercaya suci oleh mereka perlu digugat dan didekonstruksi.
Bibel yang diyakini sebagai sebuah kitab suci, misalnya, ternyata memuat berbagai fakta yang bertentangan dengan akal. Disebutkan secara implisit di dalam Perjanjian Lama bahwa dunia ini berusia kurang lebih 6000 tahun. Dunia ini juga diciptakan sebelum matahari dan bumi. Pendapat yang ada di dalam Bibel tersebut bertentangan khususnya dengan sains. Jika sains dan aktivitas penelitian ilmiyah dilanjutkan, fakta yang ada di dalam Bibel harus diabaikan. Jika tidak, konflik antara Bibel dan sains akan terjadi.
Pada tahun 1507, Copernicus (1473-1543) dalam bukunya De Revolutionibus, mengemukakan bahwa sebenarnya matahari-lah yang merupakan pusat tata surya, bukan bumi. Menyadari bahwa pendapatnya akan bertentangan dengan Injil dan menghindar dari hukuman yang akan diberikan oleh Gereja, Copernicus mengemukakan argumentasinya dengan sangat hati-hati sekali dan sangat apologitik. Disebabkan kuatnya otoritas Gereja, Copernicus tidak menerbitkan karyanya sampai 36 tahun. Pada tahun 1543 M, buku itu baru bisa diterbitkan. Salinan dari buku ini diberi kepadanya ketika dia menemui ajal di atas katil tidurnya. Seperti diduga, setelah buku ini terbit, Inkuisisi menuduhnya sebagai bid’ah. Gereja melarangnya karena bertentangan dengan ajaran Injil.
Nasib yang sama juga dialami oleh Galileo Galilei (1546-1642) yang dituduh murtad, bid’ah dan atheis karena berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. Galileo diperintah supaya menghentikan kuliahnya yang membela Copernicus. Setelah 16 tahun Galileo berdiam diri, akhirnya pada tahun 1632 M, dia bersikukuh mempublikasikan bukunya berjudul The System of the World. Ini menyebabkan dia dipanggil kembali oleh Inkuisisi di Roma. Dia dipaksa untuk meninggalkan pendapatnya, jika tidak, akan diancam dengan hukuman mati. Akhirnya, Galileo dikurung. Selama sepuluh tahun di akhir hidupnya, dia mendapat layanan yang sangat buruk.
Giordano Bruno (1548-1600) mengalami nasib yang lebih buruk. Disebabkan karya ilmiahnya dalam bidang Astronomi, Bruno dibunuh oleh Inkuisisi di Italia. Bruno menyembunyikan dirinya di berbagai Negara Eropa. Setelah memburunya terus-menerus, Inkuisisi menangkapnya di Venice, Italia. Dia dikurung selama 6 tahun, tanpa buku, kertas dan teman. Pihak otoritas spiritual Gereja memindahkan Bruno dari Venice ke Roma. Dia dituduh murtad dan menulis yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Tuduhan khusus kepadanya adalah dia telah mengajarkan terdapat pluralitas dunia. Setelah dipenjara selama 2 tahun, dia dituduh bersalah dan dibakar hidup-hidup.
Jadi, dominasi Gereja menunjukkan bahwa penelitian ilmiah akan terhambat dan penelitian ilmiah akan dihukum. Karena itu, orang Barat modern ingin lepas bebas dari dominasi institusi Gereja. Orang Barat menanamkan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal lahir kembali setelah dikontrol oleh Gereja. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman pencerahan Eropa. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus, dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan dan keadilan.
Perlu dicatat bahwa kekejaman Inkuisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau Wakil Tuhan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah) seperti itu. Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). Dan ketika Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan, maka hal itu dilakukan sebagai Wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kedzaliman, maka itu dilakukan sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin menggunakan alasan keagamaan tertentu. Walaupun dia mengaku mendapatkan legalitas keagamaan, jika bertentangan dengan prinsi-prinsip agama, maka perlakuan, sikap dan segala hal yang dia lakukan tetap merupakan perbuatan individu bukan ajaran agama.
Di kalangan muslim sendiri ada beragam tanggapan dalam memaknai sekulerisme dan sekulerisasi. Sebagian besar dari mereka tampak kesulitan untuk memberi batasan antara keduanya. Muhammad Qutb, misalnya, menganggap sekulerisasi sebagai upaya penerapan ilmaniyah, istilah Arab yang beliau gunakan sebagai terjemahan sekulerisme. Itu berarti sekulerisasi pada gilirannya nanti akan menjurus pada sekulerisme yang membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau alla diniyah (non agamis).
Analisa Muhammad Qutb tentang Islam dan sekulerisme ini bertitik tolak dari sebuah hadits nabi yang menjelaskan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Alienasi (keterasingan) yang ditakuti Qutb merupakan pengandaian akan datangnya suatu masa dimana Islam terpinggirkan sedangkan ideologi sekuler makin dipuja. Di masa inilah Islam terusir dari kehidupan publik. Padahal bagi Qutb, Islam tidak hanya terbatas pada akidah, namun juga tata hukum syari’ah. Oleh karenanya sekulerisme dicap sebagai kebatilan dan layak menjadi musuh Islam. Untuk meredam sikap keras terhadap sekulerisasi ini, Qutb menawarkan dibukanya pintu ijtihad.

sponsor