Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

Thursday, August 11, 2011

Merebut [dari dan untuk] Masa Depan (Resensi buku Merebut Masa Depan)


Oleh: Uum Heroyati dan Nunik Yuniati**
DALAM konteks sebagai muslim sekaligus sebagai warga Negara, gelisah merupakan hak sekaligus kewajiban. Ini adalah fitrah yang membawa arus perubahan dalam sejarah yang menjadi—semacam—dentuman yang “membahayakan”. Walau mesti diakui bahwa sering kali kegelisahan membawa pelakunya ke lubang “kematian”; namun penulis—sebagaimana yang diungkap dalam buku ini (meminjam pernyataan penulisnya suatu ketika, “Itupun jika layak dinamai buku”)—mengajak kita semua untuk sesekali gelisah, (asal) dilanjutkan dengan mematangkan diri secara massif agar tidak terjebak ke dalam lubang yang sama berulang-ulang.
Dengan percaya diri—karena keyakinan dan tekad—penulis buku ini mengingatkan bahwa kita hadir sebagai umat Islam sekaligus sebagai warga Negara—dengan berbagai macam hak dan kewajibannya—memiliki potensi (baca: keunggulan) dan kelemahannya masing-masing, untuk mewujudkan satu kata dalam ruang nyata: perubahan. Perubahan adalah idiom sederhana, namun ia merupakan garansi untuk cita-cita masa depan; sebuah zaman dimana kita dan banyak orang ikut menghadirkannya dan bahkan hidup di dalamnya. Perubahan adalah suatu takdir sejarah yang akan dipergilirkan. Karena itu, kita tak perlu pesimis dengan perubahan selain ikut terlibat menghadirkannya.
Dalam buku ini penulisnya berbicara apa adanya mengenai Indonesia (Negara yang dihuni oleh berbagai latar manusia, tempat dimana kita tinggal kini), tentang Islam (sebuah sistem yang mengarahkan kehidupan kita, bagaimana semestinya kita mengeja kehidupan) dan tentang Peradaban Dunia (sebuah kenyataan (baca: sejarah) global yang kelak menjadi tempat sistem atau Islam yang kita yakini itu berjaya ria). Penulisnya seperti terinspirasi oleh gagasan Malik bin Nabi yang mengatakan bahwa peradaban (baca: masa depan) merupakan kisah mengenai tiga variabel utama: manusia, sistem dan sejarah. Buku ini ditulis dalam tiga tema besar itu, yang dengan bahasa lain penulisnya ‘memodelkannya’ ke dalam tiga pembahasan utama seputar Ke-Indonesia-an, Ke-Islam-an dan Peradaban Dunia (Islam).


Tentang Ke-Indonesia-an diformat ke dalam dua judul: Pertama, Renungan atas sikap kebangsaan kita (hal. 75-92). Di sini penulis mengemukakan mengenai kekeliruan kita sebagai sebuah bangsa atas kenyataan dan tantangan yang kita hadapi. Kita bahkan kemudian—dalam menghadapi semua itu dihadapi dengan—gelisah tanpa tindaklanjut. Menurut penulis, Bangsa kita secara sistematis dan kultural sudah mengidap berbagai macam penyakit yang membahayakan. Di antara penyakit tersebut—sebagaimana disampaikan oleh Kuntowijoyo—adalah kompleks inferioritas, sindrom selebriti, mistifikasi, dan xenomani. (hal. 82-86).
Nah, dalam merenda masa depan yang lebih baik, menurut penulis, maka sebagai sebuah bangsa kita mesti mengkonkretkan beberapa kebutuhan, di antaranya: Pertama, model-model represi ideologis dan mobilitas politik yang keliru mesti dikikis habis. Kedua, menjaga masa depan ke-Indonesia-an adalah mengatasi krisis keadilan dan pemerataan. Ketiga, mengelola civil society secara proporsional dengan rumus kendali: pemberian otonomi secara proporsional dan pemberian kendali secara arif. Keempat, mengelola keragaman sikap primordial, agar tidak tersulut menjadi api separatis. Kelima, menjaga keutuhan peran kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan mengelola secara matang kesinambungan regenerasi kepemimpinan bangsa. (hal. 86-91)
Kedua, Kemestian sejarah kita; Menata ulang Indonesia (hal. 95-155). Pada bagian ini penulis membahas mengenai dinamika politik; baik ideologi yang melatari maupun praktik teknisnya dalam realitas kebangsaan. Dimana menurut penulis, politik seringkali dipahami sebagai sarana ‘perebutan kekuasaan’ semata, tanpa kerja atau aksi nyata. Jikapun ada, itu hanya prosedural bukan substansial. Dalam pengertian bahwa bernegara—dimana politik sebagai salah satu instrumennya—sering dimaknai dan diimplementasikan sebagai upaya melanggengkan kekuatan primordial kepentingan tertentu; tepatnya golongan. Untuk itu, menurut penulis, bila kemudian demokrasi—yang konon telah direformasi itu—tinggal menjadi nyanyian pengantar tidur dan bahkan (memang) hanya salinan palsu elite politik, bukan saja ia tidak lagi positif bagi investasi ide atau gagasan baru, namun boleh jadi karena demokrasi (memang) bukanlah solusi terbaik bagi kemajuan dan perubahan negeri dengan belasan ribu pulau ini. Maka inilah momentum atau kesempatan untuk menetapkan dengan keras, misalnya, perhitungkan kembali demokrasi dan hal-hal yang menjadi turunannya sebagai cara bernegara yang kita pilih.
Selanjutnya, bagian yang kedua, tentang Ke-Islam-an. Bagian ini diformat ke dalam dua judul, yaitu: pertama, Problematika Umat (hal. 156-176). Di sini penulis membahas mengenai problematika yang sedang dihadapi oleh umat Islam, baik faktor internal (hal. 158-162) maupun faktor eksternalnya (hal. 162-167). Setelah mengetahui permasalahan yang melanda, yang mesti kita lakukan menurut penulis adalah mencari solusi berupa beberapa hal yang menjadi titik tekan kebangkitan umat, yaitu: Kebangkitan Pemikiran, Kebangkitan Perasaan dan Emosi, Kebangkitan Amal dan Perilaku, Kebangkitan peran Wanita Islam, Kebangkitan Pemuda, dan Kebangkitan Global (hal. 168-171).
Kedua, menuju umat yang kuat (hal. 177-200). Di bagian ini penulis membahas mengenai idealis Islam memposisikan umatnya. Pada konteks pendalaman, bagian ini sebetulnya mencoba mengajak pembaca untuk memahami kembali gelar istimewanya sebagai umat terbaik (Khaeru umah) dengan memasifkan beberapa syarat (garansi utama) atau apa yang disebut dengan kesadaran sejarah berupa: Pertama, progresif melaksanakan dan mendukung proyek-proyek kebaikan; Kedua, berani memberantas dan mencegah proyek-proyek keterbelakangan dan keburukan; dan ketiga, aktif meningkatkan hubungan keimanan pada Allah semata.” (hal. 177-178) dengan berbagai macam objektivikasinya dalam ruang publik yang kompleks. Penulis misalnya menawarkan agenda internal keumatan berupa: Pertama, pandai-pandai menggalang barisan dan mengikis kerumunan yang tak efektif; Kedua, terus melakukan pembenahan atas metode perlawanan terhadap ketidakadilan, dan tidak menjadikan kemarahan sebagai identitas; Ketiga, fokus ke agenda yang membutuhkan ide besar, dan segera menyisihkan urusan kecil yang terlalu mempesona padahal sesaat; dan Keempat, perkuat jaringan, dan mengurangi obsesi membentuk organisasi atau lembaga yang krisis sumber daya dan daya jual. (hal. 191-195).
Penulis juga sedikit menjelaskan mengenai bagaimana Ormas Islam meningkatkan kualitas penguasaan ilmu pengetahuan. Penulis mengadposi gagasan Peter F. Drucker, seorang pakar manajemen, yang mengatakan bahwa organisasi sosial maupun perusahaan harus berbasis pengetahuan yang kuat. Drucker menyebutnya dengan organisasi berbasis jaringan pengetahuan (hal. 196-198).
Yang terakhir, tentang Peradaban Dunia (Islam). Bagian ini diformat ke dalam tiga judul, yaitu: Pertama, Globalisasi Islam; Meretas peradaban baru dunia (hal. 201-239). Pada bagian ini penulis secara sederhana membahas mengenai defenisi globalisasi, baik sebagai ‘isme’ maupun ‘proses’—walaupun nanti akan lebih banyak membahas globalisasi sebagai proses bukan ‘isme’. Menurut penulis, terlepas dari adanya dinamika diskusi dan keragaman pendapat seputar globalisasi, dalam konteks diskusi dan dialog, sebenarnya sangat sulit untuk menempatkan globalisasi dalam satu kerangka intelektual yang homogen, sebab ia didiskusikan dan didialogkan oleh banyak orang dengan latar belakang yang heterogen. Selain itu, dalam konteks menyusun jalan baru bagi peradaban dunia, memahami globalisasi mesti diperlebar, dari sekedar ‘isme’ ke ‘proses’. Karena itu, akan dibahas juga mengenai bagaimana obsesi Islam terhadap globalisasi.
Nah, selanjutnya pembaca diajak untuk mendalami peradaban, baik dalam konteks benturan maupun dalam konteks dialog. Penulis mencoba untuk mengetengahkan gagasan Sayyid Yasin, seorang sosiolog Mesir, yang menyuguhkan buah karyanya Hiwar al Hadharat; al-Gharb al-Kawni wa al-Syarq al-Mutafarrid. Buku ini merupakan respon terhadap perkembangan wacana dialog peradaban yang memeras keringat para filsuf, sejarahwan, dan sosiolog sejak tahun ’90-an, yang merupakan respon positif guna mencari solusi menanggulangi problem antar peradaban. Di dalam buku ini, Sayyid Yasin berusaha menarik dialog peradaban dari sekedar wacana menjadi tindakan real, berupa universalitas politik dan budaya. Selain gagasan Sayyid Yasin, akan dibahas juga mengenai gagasan Khatami mengenai Dialog Peradaban. Dalam menghadapi peradaban masa depan, menurut penulis, maka umat Islam mesti mematangkan (baca: menyiapkan) beberapa persiapan, di antaranya: Pertama; Penguasaan atas referensi keislaman (hal. 221-229); kedua, penyiapan cadangan kepemimpinan (hal. 229-231); ketiga, penguatan diplomasi dan jaringan (231). Selanjutnya, secara khusus akan dibahas mengenai generasi muda yang secara usia masih memiliki peluang yang cukup besar untuk hidup di masa depan.
Kedua, Paradigma membangun gerakan (hal. 240-264). Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian paradigma dalam konteks gerakan. Agar terarah, maka secara khusus akan diungkap bagaimana paradigma berdasarkan arahan Al-Qur’an. Terkait dengan paradigma, penulis mencoba menalar ulang definisi paradigma al-Qur’an yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya Paradigma Islam (2008). Menurut penulis, dalam konteks membangun dan mengembalikan budaya gerakan, bagi setiap aktivis gerakan dakwah minimal harus memiliki beberapa jenis pengetahuan yaitu: pengetahuan agama (tsaqofah dinniyah), pengetahuan bahasa dan sastra serta kebudayaan, pengetahuan sejarah, pengetahuan humaniora, pengetahuan tentang sains dan pengetahuan tentang realitas kehidupan.” (hal. 254-262).
Ketiga, Belajar bergerak dari akar sejarah (hal. 265-310). Pada bagian ini penulis membahas secara singkat mengenai kenyataan bahwa ideologi dan tingkah laku manusia adalah akar dari sebuah sejarah. Memahami sejarah berarti memahami tempat diri kita tinggal, hidup bahkan laju geraknya. Sejarah atau kisah terkait erat dengan kejadian-kejadian manusia masa lalu, berikut berimplikasi pada sejarah manusia masa kini dalam membangun masa depan peradabannya. Sebagai contoh nyata ”manusia akar sejarah”, maka penulis membahas secara singkat mengenai Al-Fatih. Beliau adalah Sultan Muhammad II (1432 M/831 H), Sultan Utsmani ketujuh dalam silsilah keturunan keluarga Utsman. Muhammad digelari Al-Fatih dan Abu Al-Khairat. Beliau memerintah hampir selama tiga puluh tahun, yang diwarnai dengan kebaikan dan kemuliaan bagi kaum muslimin. Beliau memangku kesultanan Utsmani setelah ayahnya wafat pada tanggal 16 bulan Muharram 855 H, yang bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1451 M. Waktu itu umurnya baru menjelang 22 tahun (hal. 276). Al-Fatih wafat di tengah-tengah pasukan besarnya pada tanggal 4 bulan Rabiul Awwal 886 H./Mei 1481 M. Saat wafatnya beliau berusia 52 tahun setelah berkuasa selama tiga puluh tahun lebih (hal. 300). Satu cita-cita Al-Fatih yang belum terwujud adalah penaklukan Roma, Italia. Sebagai upaya tindaklanjut penulis kemudian mengajak umat Islam untuk tidak terlalu lama hidup dalam era stagnasi dengan berbagai macam penyakitnya—seperti hanya merebut kekuasaan bahkan masjid dan lahan-lahan dakwah yang bersifat fisik bukan agenda. Seperti judul buku ini, penulis mengajak kita—baik sebagai umat Islam maupun sebagai warga Negara—untuk segera menyiapkan diri dalam mewujudkan agenda besar Merebut Masa Depan dengan cara meninggalkan stagnasi dan sediakan peran yang tepat bagi Indonesia sebagai Negara bermayoritas muslim terbesar sekaligus Negara berkembang untuk menjadi juru bicara terbaik di hadapan Negara-negara Barat alis Negara maju di dunia.
Buku ini tak luput dari kelemahan atau kekurangan, mislanya, Pertama, dalam konteks ke-Indonesia-an, penulisnya tidak secara tegas menyebutkan apa model dan sistem yang menggantikan demokrasi jika penulis menganggapnya gagal. Kedua, analisisnya terlalu mengarahkan pembaca untuk mengikuti satu penalaran ideologis yang homogen di tengah-tengah dinamika umat dan kebangsaan dengan berbagai unsur ideologi yang heterogen. Ketiga, penulis juga tak berani alias “malu-malu” untuk menawarkan model dan sistem kesatuan umat sebagai lokomotif peradaban baru yang dibangun sebagai—semacam—anti tesis atau titik temu antara satu pandangan ideologis dengan pandangan ideologis yang lain. Keempat, masih adanya kesalahan kutipan dan penulisan kata pada beberapa bagian.
Walau begitu, buku ini juga perlu dan layak diapresiasi karena beberapa hal, Pertama, penulisnya sudah mencoba memprovokasi kita untuk segera, misalnya: memahami kembali sekaligus mengevaluasi cara kita meng-Indonesia dan cara kita ber-Islam; membangun kesadaran sejarah dan politik secara matang; membangun masa depan dengan ide ber-narasi; dan membangun trend intelektual dengan membumikan budaya menulis—di samping membaca dan berdiskusi. Kedua, penulis mengajak penghuni negeri ini—terutama umat Islam—untuk segera keluar dari kungkungan dan paradigma sempit menuju lapangan luas Islam yang subtantif dan universal. Ketiga, secara sepintas penulis menawarkan beberapa judul dengan tema yang beragam (tematik). Artinya, dari manapun pembaca membaca—asal sesuai judul—tetap akan memberi pesan tersendiri. Namun dalam konteks yang lain semua judul dari awal sampai akhir, bisa dikategorikan terstruktur. Keempat, referensi atau sumber penulis cukup memadai walaupun dengan penjelasan yang—seperti yang diakui penulisnya suatu ketika—belum tuntas. Sehingga—sebagaimana ungkapan penulisnya—buku ini (“itupun jika layak dinamai buku”) hanyalah kumpulan makalah dan beberapa judul kerumunan gila yang tak berujung. Atas dasar itu, lanjut penulis, “Hakim yang bijak adalah publik yaitu siapapun yang membaca dan memberi kritik dan masukan untuk (penyempurnaan) karya ini (ke depan).” Kelima, dari sisi pemilihan bahasan, membaca buku ini paling tidak pembaca seperti sedang diajak untuk membaca dan mendalami beberapa buku karya Kuntowijoyo (Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Identitas Politik Umat Islam), Dr. Abdul Hamid Al-Ghozali (Haula Asasiyat Al-Masyru’ Al-Islami Li Nahdhah Al-Ummah) dan Dr. Irsan Al-Kailani (Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds). Keenam, walau begitu, buku ini tetap saja punya tempat yang khas pada ruang khazanah anak muda (Islam) Indonesia di tengah-tengah dinamika dialog dan stagnasi peran; terutama untuk provokasi.
Di atas segalanya, testimoni Saudara Tata Suharta, ST. pada cover luar buku ini dengan “Membaca buku ini seperti menapaki gelombang sejarah, merefleksikan kenyataan masa lalu, realita masa kini dan mencoba mendefenisikan masa depan. Di tengah kemelut ekonomi, hukum, sosial dan politik dalam skup kebangsaan Indonesia diperlukan gagasan atau pemikiran sistematis dalam kerangka global untuk menyegarkan aktivitas setiap gerakan kepemudaan dan kebangsaan. Buku ini sangat menggugah dan menyadarkan.” adalah komentar yang sangat tepat. Akhirnya—meminjam ungkapan M. Natsir (seperti yang sering dikutip oleh penulis buku ini), “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut!”. Selanjutnya, selamat membaca dan mengambil manfaat! []
* Resensi untuk buku Merebut Masa Depan
** Editor sekaligus Peresensi
Cirebon-Balikpapan; 11 Agustus 2011
Keterangan:
Judul buku            : Merebut Masa Depan ‘Mendobrak Stagnasi Kebangsaan, Memetakan Indonesia Masa Depan’ (MMD)
Penulis                     : Syamsudin Kadir
Editor                       : Uum Heroyati & Nunik Yuniati
Penerbit                 : Mitra Pemuda, Cirebon (2011)
Harga                       : Rp. 55.000
Tebal                      : 320 halaman
Kertas                    : HVS 700 gram
Ukuran                 : A5, 21 x 14 cm
Cp                            : 085 220 910 532

No comments:

Post a Comment

sponsor