Oleh : Syamsudin Kadir*
Pengertian
Secara filologis, kata sekuler (secular) adalah kosakata asing bagi kaum muslimin. Karena itu, menelusuri jejak kata, makna, sejarah dan konsep sekularisasi sangat diperlukan agar kita tidak mudah mengadopsi, mewarisi dan memodifikasi konsep tersebut secara latah, dangkal, dan ceroboh. Sebab jika tidak, maka kita akan masuk satu pemahaman yang sangat membahayakan. Bahkan alih-alih membawa kita kepada jalan yang menyesatkan.
Kata sekuler bisa dimaknai sebagai konsep ‘kekinian dan kedisinian’, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). ‘Di sini’ berarti dunia, dan ‘kini’ berarti konteks sejarah. Saeculum (Latin) sebagai akar kata sekuler berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual).
Sekularisme dalam timbangan
Mengenai definisi sekulerisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna “isme” yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua “isme” adalah ideologi, ataukah tidak semua “isme” merupakan ideologi? Hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekulerisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan Gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan dengan alasan agar lebih masuk akal.
Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekulerisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan Negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya, Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekulerisme pada masa tersebut disebut sekulerisme moderat.
Dalam konteks peradaban Barat, semaraknya perkembangan sains dan teknologi mendorong munculnya upaya di kalangan teolog Kristen merelevansikan ajaran Injil dengan perkembangan zaman. Sederhananya, Bibel perlu diinterpretasikan. Bahkan tak berhenti hanya sampai di situ, otentisitas teks Bibel itu sendiri yang selama ini dipercaya suci oleh mereka perlu digugat dan didekonstruksi.
Bibel yang diyakini sebagai sebuah kitab suci, misalnya, ternyata memuat berbagai fakta yang bertentangan dengan akal. Disebutkan secara implisit di dalam Perjanjian Lama bahwa dunia ini berusia kurang lebih 6000 tahun. Dunia ini juga diciptakan sebelum matahari dan bumi. Pendapat yang ada di dalam Bibel tersebut bertentangan khususnya dengan sains. Jika sains dan aktivitas penelitian ilmiyah dilanjutkan, fakta yang ada di dalam Bibel harus diabaikan. Jika tidak, konflik antara Bibel dan sains akan terjadi.
Pada tahun 1507, Copernicus (1473-1543) dalam bukunya De Revolutionibus, mengemukakan bahwa sebenarnya matahari-lah yang merupakan pusat tata surya, bukan bumi. Menyadari bahwa pendapatnya akan bertentangan dengan Injil dan menghindar dari hukuman yang akan diberikan oleh Gereja, Copernicus mengemukakan argumentasinya dengan sangat hati-hati sekali dan sangat apologitik. Disebabkan kuatnya otoritas Gereja, Copernicus tidak menerbitkan karyanya sampai 36 tahun. Pada tahun 1543 M, buku itu baru bisa diterbitkan. Salinan dari buku ini diberi kepadanya ketika dia menemui ajal di atas katil tidurnya. Seperti diduga, setelah buku ini terbit, Inkuisisi menuduhnya sebagai bid’ah. Gereja melarangnya karena bertentangan dengan ajaran Injil.
Nasib yang sama juga dialami oleh Galileo Galilei (1546-1642) yang dituduh murtad, bid’ah dan atheis karena berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. Galileo diperintah supaya menghentikan kuliahnya yang membela Copernicus. Setelah 16 tahun Galileo berdiam diri, akhirnya pada tahun 1632 M, dia bersikukuh mempublikasikan bukunya berjudul The System of the World. Ini menyebabkan dia dipanggil kembali oleh Inkuisisi di Roma. Dia dipaksa untuk meninggalkan pendapatnya, jika tidak, akan diancam dengan hukuman mati. Akhirnya, Galileo dikurung. Selama sepuluh tahun di akhir hidupnya, dia mendapat layanan yang sangat buruk.
Giordano Bruno (1548-1600) mengalami nasib yang lebih buruk. Disebabkan karya ilmiahnya dalam bidang Astronomi, Bruno dibunuh oleh Inkuisisi di Italia. Bruno menyembunyikan dirinya di berbagai Negara Eropa. Setelah memburunya terus-menerus, Inkuisisi menangkapnya di Venice, Italia. Dia dikurung selama 6 tahun, tanpa buku, kertas dan teman. Pihak otoritas spiritual Gereja memindahkan Bruno dari Venice ke Roma. Dia dituduh murtad dan menulis yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Tuduhan khusus kepadanya adalah dia telah mengajarkan terdapat pluralitas dunia. Setelah dipenjara selama 2 tahun, dia dituduh bersalah dan dibakar hidup-hidup.
Jadi, dominasi Gereja menunjukkan bahwa penelitian ilmiah akan terhambat dan penelitian ilmiah akan dihukum. Karena itu, orang Barat modern ingin lepas bebas dari dominasi institusi Gereja. Orang Barat menanamkan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal lahir kembali setelah dikontrol oleh Gereja. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman pencerahan Eropa. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus, dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan dan keadilan.
Perlu dicatat bahwa kekejaman Inkuisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau Wakil Tuhan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah) seperti itu. Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). Dan ketika Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan, maka hal itu dilakukan sebagai Wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kedzaliman, maka itu dilakukan sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin menggunakan alasan keagamaan tertentu. Walaupun dia mengaku mendapatkan legalitas keagamaan, jika bertentangan dengan prinsi-prinsip agama, maka perlakuan, sikap dan segala hal yang dia lakukan tetap merupakan perbuatan individu bukan ajaran agama.
Di kalangan muslim sendiri ada beragam tanggapan dalam memaknai sekulerisme dan sekulerisasi. Sebagian besar dari mereka tampak kesulitan untuk memberi batasan antara keduanya. Muhammad Qutb, misalnya, menganggap sekulerisasi sebagai upaya penerapan ilmaniyah, istilah Arab yang beliau gunakan sebagai terjemahan sekulerisme. Itu berarti sekulerisasi pada gilirannya nanti akan menjurus pada sekulerisme yang membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau alla diniyah (non agamis).
Analisa Muhammad Qutb tentang Islam dan sekulerisme ini bertitik tolak dari sebuah hadits nabi yang menjelaskan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Alienasi (keterasingan) yang ditakuti Qutb merupakan pengandaian akan datangnya suatu masa dimana Islam terpinggirkan sedangkan ideologi sekuler makin dipuja. Di masa inilah Islam terusir dari kehidupan publik. Padahal bagi Qutb, Islam tidak hanya terbatas pada akidah, namun juga tata hukum syari’ah. Oleh karenanya sekulerisme dicap sebagai kebatilan dan layak menjadi musuh Islam. Untuk meredam sikap keras terhadap sekulerisasi ini, Qutb menawarkan dibukanya pintu ijtihad.