Momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke 66 pada 17 Agustus tahun 2011 ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Peristiwa serupa juga terjadi pada 66 tahun silam, saat Indonesia diproklamirkan sebagai bangsa merdeka. Setelah melalui perjuangan panjang selama lebih dari tiga abad, Jum’at 17 Agustus 1945 Masehi bertepatan dengan 9 Ramadhan 1334 Hijriyah, dari bangsa terjajah yang dipecah belah oleh politik devide et impera kompeni, Indonesia bertransformasi menyatakan kemerdekaan sebagai bangsa yang bersatu dan berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bukan suatu kebetulan jika pertemuan momentum tersebut kembali terulang pada tahun ini. Di sana ada pesan sejarah yang sangat kuat untuk kita maknai. Penulis berkeyakinan bahwa Allah SWT yang telah menganugerahi berkat dan rahmat-Nya kepada negeri berpenduduk mulsim terbesar di dunia ini, sebagaimana diyakini dan dituliskan di dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, hendak menyentak kesadaran kita tentang cara kita mengisi kemerdekaan. Cara memaknai rentang waktu yang dilalui bangsa. Kita seharusnya memutar memory, dan dengan demikian semoga kesadaran reflektif itu muncul kembali, seperti kesadaran merdeka yang dimiliki oleh para pendiri bangsa kala itu.
Sejarah mencatat, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah kebetulan. Telah mengalir peluh dan darah membasahi bumi pertiwi untuk menyatakan diri sebagai bangsa merdeka. Resonansi khutbah para ulama dengan seruan jihadnya terharmonisasi dengan orasi para umara sebagai upaya mewujudkan kobaran semangat patriotisme, akhirnya mengantar bangsa ini pada puncak perjuangan.
Coba kita dikomparasikan dengan realitas bangsa kekinian, jika mau jujur, sesungguhnya kondisi bangsa kita saat ini tak berbeda dengan nasib bangsa terjajah dan terbajak. Ya, atas nama kuasa materialisme, bangsa Indonesia dijajah dan dibajak oleh rakyatnya sendiri. Mereka yang berperilaku Koruptif, Kolutif dan nepotis (KKN) adalah penjajah. Kita dijajah dari semua sisi kehidupan.
Dari sisi ekonomi, berbagai pujian dan apresiasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata tidak mampu mereduksi kemiskinan yang masih menghantui bangsa ini. Memakai standar baku internasional, dengan batasan penghasilan sebesar 2 dollar Amerika per hari atau setara Rp. 540.000 (dengan menggunakan asumsi Rp. 9.000 per USD), maka kita akan tercengang karena ternyata menurut Kepala Biro Humas BPS, Jousairi Hasbullah jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai hampir 100 juta orang. Padahal dengan logika sederhana, kita bisa menalar jika seharusnya pertumbuhan ekonomi itu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Namun fakta berbicara lain, pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh saktor korporasi hanyalah berpengaruh pada penumpukan harta para kapitalis yang menamakan diri investor. Dan mereka jumlahnya hanya segelintir. Seperti dikatakan Buya Syafi’i Ma’arif bahwa menara pertumbuhan ekonomi dihuni oleh segelintir orang sementara, di dasar sana ada jutaan rakyat miskin dan papa.
Selain itu, dalam ranah politik kita menyaksikan antar parpol dan antar politikus sering kali bertarung kepentingan. Lihat saja skandal yang menimpa partai Demokrat (dan Nazaruddin) saat ini. Semua bermuara pada kosa kata materialistik : harta dan tahta. Kesibukan para politikus nampak sekali hanya dilatari motif kekuasaan, kepentingan. Persis seperti kompeni yang sibuk menguasai sumber-sumber ekonomi kita sementara mereka terus berfikir untuk melanggengkan kekuasaan.
Ini nampak jelas kita saksikan dari beberapa kali kejadian. Misalnya parpol yang tergabung di dalam koalisi pemerintahan SBY-Budiono, justru saling gertak sambal dengan menjadikan skandal yang diduga melibatkan jaringan partai berkuasa sebagai amunisi. Ketika ada isu reshuffle akibat lemahnya kinerja pembantu presiden, dengan cepat isu-isu penguas kemudian dijadikan alat sandera. Sepeti kasus mega skandal Bank Century, Mafia Pajak dan saat ini kasus Mafia Kursi Haram DPR.
Fakta politik inilah yang kemudian turut mengafirmasi masyarakat untuk bertindak serupa. Berbagai konflik horizontal pun jamak kita saksikan. Baik yang berlatar belakang SARA, maupun berlatar belakang politik hingga ke daerah-daerah (akibat pilkada). Kehidupan sosial kita sangat rentan, keutuhan begitu sensitif dan mudah dibongkar.
Tidak hanya sampai di situ. Di dalam ranah hukum, Rakyat kecil sering kali di jerat dengan hukum tak adil seperti kasus Prita. Sementara rakyat besar dengan melenggang kangkung ke luar negeri membawa miliaran hingga trilyunan uang negara. Berbagai apologi dan alibi dijadikan alasan untuk membiarkan mereka lolos. Hukum menjadi pisau bermata satu. Tajam kebawah, tumpul ke atas.
Korupsi bahkan semakin menggurita dengan indikasi bertambah panjangnya daftar aparat yang menamakan diri “penegak hukum”, ikut terlibat kejahatan sistemik tersebut. Mulai dari Polisi hingga Jaksa. Bukan hanya itu, peringkat korupsi Indonesia pun menjadi yang tertinggi. Menurut survey internasional pada buan Juni 2011 yang lalu yang dibiayai oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, Indonesia menjadi negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 12 dari 13 negara di Asia Pasifik. Peringkat tersebut stabil lebih dari satu dekade terakhir.
Tak syak lagi, dari deret belitan problem tersebut, kita butuh merdeka sekali lagi. Merdeka dari nafsu kuasa yang mengkooptasi nalar sosial pada rakyat. Merdeka dari konflik sosial yang meretaki keharmonisan bangsa yang besar ini. Merdeka dari belitan krisis ekonomi di tengah melimpah ruahnya kekayaan yang Allah SWT anugerahkan, BIMBO menyebut Indonesia adalah “potongan surga”.
Maka sebagai inspirasi bagi kita umat Islam, selain Proklamasi 17 Agustus, ada sederet prestasi umat terdahulu yang juga diraih bertepatan dengan momentum Ramadhan. Diantaranya 17 Ramadhan 2 H bertepatan 13 Maret 623 M, umat Islam menang dalam Perang Badar. Peristiwa ini merupakan tonggak eksistens bagi dakwah Islam dan bukti kekuatan umat setelah lebih dari 13 tahun lamanya ditindas oleh musyrikin Quraisy.
Pada 10 Ramadhan 8 H atau 1 Januari 630 M, Rasulullah SAW dan para sahabat mulai bergerak dari Madinah menuju Makah untuk melakukan pembebasan kota Makah (Fathu Makkah). Fathu makkah adalah tonggak sejarah yang menentukan tegaknya Islam di Jazirah Arabia dan bukti eksistensinya.
Pada 28 Ramadhan 92 H atau 18 Juli 711 M, Panglima Thariq bin Ziad berhasil mengalahkan lawannya dalam Perang Syazunah. Kemenangan ini menjadi babak baru masuknya Islam ke Spanyol (Eropa Timur) dan mendirikan peradaban besar beratus tahun lamanya di sana.
Pada 25 Ramadhan 658 H bertepatan 3 September 1260 M, umat Islam mencatat kemenangan dalam pertempuran dahsyat pada Perang ‘Ain Jalut di Palestina. Perang ini melibatkan tokoh umat Islam, Saifuddin Qutuz dan lawannya dari bangsa Mongol. Perang ini disebut dalam sejarah sebagai perang yang berhasil mempertahankan peradaban Islam dari kehancuran.
Pertanyaannya, bagi kita rakyat Indonesia bisakah Ramadhan ini menggerakkan untuk juga menghasilkan perubahan sebagaimana jejak sejarah umat terdahulu? Bisakah rasa terjajah yang kian memuncak dengan instrumentasi seringnya muncul letupan-letupan kemarahan rakyat, kita jadikan sebagai lecut pembebasan? Atau jangan-jangan justru kita menikmati kemerdekaan semu dibawah bayang-bayang penjajahan?
Jika dahulu para pejuang mempertahankan kemerdekaan dari upaya agresi jilid II Belanda dengan teriakan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” kini kita generasi yang berhadapan dengan “agresor” dari bangsa sendiri, agresor yang merebut hakikat dan subtansi kemerdekaan, pantas berteriak “Sekali Merdeka, Merdeka Sekali (lagi)”. Kita harus merdeka!
No comments:
Post a Comment