Oleh: Syamsudin Kadir[2]
“Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”
(Qs. al-Kahfi: 103-104)
KETAHUILAH bahwa kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Bahkan agar akidahnya lurus dan terjaga, seorang muslim harus senantiasa memupuknya dengan ilmu. Bila pemahaman terhadap Islamnya berdasarkan basis ilmu yang benar, maka akidah, ibadah dan pemahamannya pun akan benar. Sebaliknya, jika pemahaman terhadap Islamnya dengan salah memahami ilmunya, maka ia akan terbawa ke dalam pemahaman dan pengamalan yang keliru bahkan akan menjadi seorang muslim yang ragu-ragu dengan keimanannya. Karena itu, mengutip pernyataan Pak Adian[3], “Kemungkaran terbesar dalam pandangan Islam adalah kemungkaran dalam bidang akidah atau kemungkaran yang mengubah bangunan fondasi Islam. Kemungkaran ini diawali dari kemungkaran dalam ilmu pengetahuan. Kemungkaran jenis ini jauh lebih berbahaya dari pada kemungkaran di bidang amal.”
Pada kondisi seperti ini umat Islam dituntut, pertama, terus-menerus mempelajari Kitab Suci (Al-Qur’an) dalam rangka mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilainya yang bersifat umum agar dapat ditarik darinya petunjuk-petunjuk yang dapat disumbangkan atau diajarkan kepada masyarakat, bangsa dan Negara, yang selalu berkembang, berubah dan meningkat kebutuhan-kebutuhannya. Atau, dengan kata lain, kita harus mampu menerjemahkan nilai-nilai tersebut agar dapat diterapkan dalam membangun dunia ini serta memecahkan masalah-masalahnya. Karena yang demikian itulah tujuan Kitab Suci (Al-Baqarah: 213), dan itu pulalah tujuan mengapa kita diperintahkan untuk selalu mempelajari dan mengajarkannya. Kedua, kita juga dituntut untuk terus mengamati ayat-ayat Allah di alam raya ini, baik diri manusia secara perorangan maupun kelompok, serta mengamati fenomena alam. Ini mengharuskan kita untuk mampu menangkap dan selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan sosial. Hal ini mengandung konsekwensi bahwa peran kita tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi sekaligus harus mampu memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya.
Sebelum dilanjutkan ke pembahasan berikutnya, di sini perlu disampaikan beberapa hal penting yang mesti kita pikirkan; dianalisa secara cermat dan dikaji secara mendalam.
Dari sebuah sumber rahasia (baca: internal intelijen) Central Intelligence Agency (CIA) dalam sebuah tulisan dijelaskan bahwa ada tiga cara menghancurkan Islam, terutama Indonesia yaitu: Pertama, menjauhkan umat Islam dari aturan kehidupannya; Kedua, membiarkan umat Islam terpecah belah berdasarkan Ormas dan kepentingan sesaat; dan Ketiga, membatasi generasi mudanya untuk memahami Islam dan menghilangkan rasa tanggung jawab mereka terhadap negara dan umatnya.
Kemudian, salah satu pemikir Jerman mengatakan: ”Mengapa umat Islam perlu kita jadikan musuh? Alasannya ada tiga, yaitu: pertama, karena mereka punya basis ideologi yang membuat identitas Islam tidak bisa punah; kedua, mereka (baca: umat Islam) punya sumber daya alam yang dibutuhkan untuk membangun suatu peradaban; ketiga, populasi mereka (baca: umat Islam) terus bertambah, sementara Barat memiliki stagnasi dalam pertumbuhan populasi.”
Silahkan Anda sendiri yang memberi jawaban sekaligus penjelasan terhadap beberapa pernyataan dan pertanyaan tersebut. Dan selanjutnya, izinkan saya untuk berbicara.
Perang Pemikiran: Perang Abadi
Kondisi dunia Islam saat ini sungguh mengkhawatirkan. Di satu sisi, geliat untuk menegakkan Islam merebak di sepanjang nusantara bahkan dunia, di sisi lain berbagai ujian kehidupan terus gencar merasuk ke dalam pola hidup dan tubuh kaum muslimin. Kondisi tersebut, membuat ketar-ketir orang yang teguh dengan akidah islamiyahnya. Sebuah kondisi yang mestinya membuat umat Islam mesti berpikir serius, untuk kemudian mencari solusi terbaik.
Dari ujung rambut sampai ujung kaki, masyarakat zaman sekarang merasakan pengaruh peradaban Barat yang begitu dahsyat. Cara bicara dan berpakaian, visi kehidupan bernegara dan hubungan antar-bangsa, bahkan untuk hiburan pun kini orang kebanyakan menggunakan ukuran kesenangan orang-orang Barat. Sarana yang dimasifkan untuk mengelabui umat Islam, Barat menggunakan berbagai cara dan sarana; salah satunya adalah perang pemikiran.
Semenjak dihentikannya perang fisik berupa invasi militer ke seluruh dunia, kolonialisme baru menggunakan berbagai saluran selain fisik, seperti ekonomi (iqtishadi), politik (siyasah), budaya (tsaqafah) dan terutama adalah pemikiran atau gagasan (fiqrah). Seluruhnya menjadi sarana invasi dari Barat—sebagai simbol kolonial dan imperialis—ke dunia Islam. Sejalan dengan itu, usaha Barat untuk melakukan invasi pemikiran—sebagai sarana fundamental konstruksi budaya masyarakat—ke dalam dunia Islam tidak pernah berhenti.
Secara bahasa, ghazwah adalah serangan, serbuan atau invasi. Fikri berarti pemikiran atau pemahaman. Serangan atau serbuan di sini berbeda dengan serangan dan serbuan dalam qital (perang). Secara istilah, ghazwul fikr berarti penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam guna merubah apa yang ada di dalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal-hal tidak islami.[4]
Dunia Islam—termasuk negeri ini—sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Maraknya produk pemikiran yang memenuhi ruang publik yang terang-terangan dan baru dikemukan atau yang memang sudah lama, meradang di tubuh umat. Dinamika pemikiran dengan munculnya ”isme-isme” lama dengan istilah baru terus datang bertubi-tubi. Bahkan pada perkembangannya menimbulkan berbagai macam anggapan dan tanggapan dari pihak yang pro maupun yang kontra.
Mengutip pendapat Samuel Huntington (2002), kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentingannya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya di antaranya melalui rezim pengetahuan.
Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat—menurut Amin Sudarsono—tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berpikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan. Inilah ghazwul fikr yang sebenarnya. Kita dihadapkan dengan masalah umat yang cukup rumit. Apapun bentuk atau macam bajunya, “isme-isme” tersebut tetap atas satu atap yang sama: perang pemikiran (ghozwul fikr). Di berbagai seminar dan diskusi bahkan di buku-buku kita temukan gagasan-gagasan yang sangat “berani”. Mengutip pernyataan Pak Adian, “Ini problem terbesar yang dihadapi oleh dunia Islam. Sebuah kenyataan yang mesti dihadapi secara arif dan bijaksana, tentu dengan landasan dan basis ilmu yang kuat.”
Yang perlu digarisbawahi, dalam konteks Indonesia, pertarungan pemikiran ini mencapai titik puncaknya pasca-kemerdekaan. Fenomena ini merupakan realita paling kental yang menandai kehidupan sosial-politik masyarakat Dunia Ketiga pasca-kemerdekaan. Itulah pertarungan ideologi anak negeri dan kemanusiaan. Sebagai fenomena sosial, pertarungan ini dilatarbelakangi oleh kekosongan ideologi yang dialami Dunia Ketiga setelah hengkangnya imprealisme dari negeri mereka. Dalam kaitan inilah, pertarungan ideologi dapat ditafsirkan sebagai pertarungan dalam mengukuhkan jari diri ideologi. Ini bukan pertarungan antara pembaharuan dan konservatisme. Tapi secara sosiologis, polemik ini merefleksikan pertarungan internal antara orsinalitas dan imitasi. Antara kebenaran dan kebatilan, antara yang jelas dan yang abu-abu.
Analisa sosiologis ini, diakui atau tidak, mendapatkan pembenaran kuat dari substansi pemikiran yang ditawarkan oleh mereka yang secara sepihak, menyebut dirinya pembaharu, toleran, cinta perdamaian dan lain-lain. Ide-ide pembaharuan itu jika dikaitkan dengan ide pembaharuan yang pernah muncul dalam belahan dunia Islam lainnya, mirip dengan apa yang disebut sebagai “onde-onde” yang ditawarkan secara bergilir kepada setiap Negara Islam. Sangat jauh dengan gagasan tajdid (pembaharuan) dan ijtihad para ulama yang sesungguhnya. Bahkan nyaris tak ada korelasinya sama sekali.
Secara pribadi saya menduga dengan kuat bahwa ide-ide pembaharuan atau “isme-isme” yang ditawarkan tersebut, tidak lahir dari rahim perenungan yang mendalam terhadap prolematika umat dan sumber ajaran Islam yang sesungguhnya. Juga bukan dari kegelisahan intelektual atau pencarian kebenaran. Ini adalah “kegenitan” dan “kegatalan” yang sudah akut. Dari nafas ide-ide itu, yang sering tercium justru aroma kekalahan jiwa dan kekosongan pikiran sehat. Konklusinya sering dibangun dari premis yang tidak berbalur secara logis, sebuah latar yang sering mereka gaungkan. Atau bahkan saya menyaksikan jika jiwa dan nalar sehat mereka teracuni dan terputus secara tiba-tiba oleh virus inferiority complex.
Sangat mungkin terjadi, bahwa fenomena munculnya berbagai pemikiran dengan latar “isme” yang beragam di negeri kita ini, atau di dunia Islam seluruhnya, merupakan sebentuk pembenaran atas teori Ibnu Khaldun yang dikatakannya sekitar lima abad yang lalu. Beliau mengatakan, “Umat yang kalah itu, cenderung mengikuti umat yang mengalahkannya. Sesuatu yang dilakukannya untuk menghapus trauma kekalahannya.”
Segalanya bermula dari kata, tulis seorang penya’ir. “Kita percaya pada Tuhan pun karena kata-kata,” begitu selanjutnya. Memang barangkali ada benarnya, jika dikatakan bahwa “kata” merupakan awal dari setiap gerak manusia. Orang sering menyebut, “kata” sebagai abstraksi kenyataan gerak yang diragakan oleh makhluk manusia. “Orang berkata-kata, orang menyampaikan gagasan. Kata, alhasil, adalah dutanya pemikiran, wujud konkrit dari gugusan ide-ide di kepala … semuanya menjadi mungkin karena “kata”. Tapi tunggu dulu, apa cuma berhenti sampai di situ saja keberadaan “kata”? Bukankah kepentingan orang bisa beragam, bahkan suatu saat dalam kenyataannya tabrakan interest itu selalu ada? Nah, padahal kata-kata selalu tunduk kepada lidah dan pikiran pengucapnya. Tak ayal lagi, kata-kata yang beredar di belantara perbahasaan manusia terlihat begitu nisbi. Idiom-idiomnya selalu berubah, konotasi yang ditunjukkan sebuah vocabullary gampang terbalik.”
Ah tak perlu terbelit-belit! Toh pada akhirnya orang kebanyakan, man in the street, tak bisa secara pas memaknai kata fundamental. Sehingga kata ini begitu saja dilekatkan kepada sebagian saudara kita di Palestina yang membela diri dengan nada negatif. Bahkan mereka yang doyan dengan “isme-isme” tersebut tak segan-segan menamai para cendekiawan muslim dan MUI yang menentang dan yang mengharamkan “isme-isme” tersebut sebagai aktivis atau ulama fundamentalis.
Kenyataan lain, ada segelintir umat Islam yang menjadi pendengar setia Reuters, AFP, AP, UPI akhirnya tak bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa di Bosnia, Palestina dan berbagai Negara muslim lainnya sedang terjadi Islamic Cleansing dan bukan Etnich Cleansing seperti yang diberitakan oleh corong-corong Barat.
Anda pasti kenal Pak Adian Husaini. Ya, bagi saya beliau memiliki peran yang sangat strategis dalam konteks ini. Beliau memiliki banyak beban dan tanggung jawab untuk masalah yang satu ini—tentu juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai umat Islam. Karena selain sebagai salah satu cendekiawan berkompeten, beliau juga sebagai pengajar di pasca sarjana Ibnu Khaldun Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2009 yang lalu beliau sudah menyelesaikan gelar doktoralnya pada bidang Pemikiran dan Peradaban Islam. Kita berterima kasih kepada beliau karena tetap setia dalam dunia ilmu dan pendidikan. Jadi, selain tanggung jawab sebagai muslim juga sebagai seorang akademisi. Kita tentu perlu mengambil peran dalam kerja mulia ini. Selanjutnya, selamat beramal Pak Adian!
Pada tahun 2005, KAMMI Komisariat UIN[5] Sunan Kali Jaga Yogjakarta dan KAMMI Daerah Istimewa Yogjakarta bekerjasama dengan INSISTS, ISDIC dan berbagai kampus PTAI[6] Se-Indonesia mengadakan Workshop Pemikiran Islam di Yogjakarta. Ketika itu saya menjadi peserta sebagai delegasi dari KAMMI UIN Sunan Gunung Djati Bandung—yang waktu itu masih IAIN[7]. Jujur saja, waktu itu saya merasakan suasana yang serius namun mengasyikan. Bagimana tidak, saya dan para peserta yang hadir diajak untuk memasuki dunia pemikiran dengan berbagai sudut pandang dan dinamikanya. Sebuah kondisi yang belum saya alami sebelum-sebelumnya. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa. Pikiran saya jadi terbuka dan tersemangati untuk mendalami berbagai pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam—terutama di perguruan tinggi Islam. Di atas segalanya saya berusaha untuk tetap dalam bingkai pemikiran islami atau yang lebih tepat disebut dengan istilah Pak Hamid Fahmy Zarkasy[8] sebagai Islamic Worlview. Untuk itu, saya mesti mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Prof. Mohd Wan Daud, Prof. Yuniar Ilyas, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.A.Ed, M.Phill, Dr. Adian Husaini, MA., Dr. Anis Malik Toha, Dr. Syamsudin Arif, Dr. Sugiharto, Dr. Nirwan Syafrin dan yang tak cukup aku sebutkan nama-namanya di sini, yang secara tulus dan lugas menjadi pemateri sekaligus instruktur pada acara tersebut.
Sebagai upaya mendalami berbagai pemikiran, dari tahun 2005 hingga kini saya berusaha untuk selalu melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan beliau semuanya. Karena keterbatasan dan kekurangan, alhamdulillah hingga kini saya masih bisa ditakdirkan untuk silaturahim dengan Pak Adian Husaini. Banyak manfaat yang saya peroleh dari silaturahim dan diskusi-diskusi dengan beliau. Mudah-mudahan ilmu yang sering beliau sampaikan menempati posisi yang mulia di sisi Allah sebagai bagian dari upaya pewarisan.
Menurut Pak Adian Husaini—sebagaimana sebagian isi nasehat beliau ketika saya silaturahim ke rumah beliau di Depok—di antara masalah yang paling besar yang sedang dialami umat Islam sekarang ini adalah masalah pemikiran. Ia berawal dari problem ilmu. Saya masih ingat kata beliau ketika itu, “Sekarang ini adalah saat terbaik untuk melakukan jihad intelektual. Sebab semua ini terjadi karena salah dalam memahami ilmu dan sumber ilmu. Jika itu yang terjadi, maka semuanya menjadi keliru.”
Hampir sama dengan Pak Adian, Pak Hamid juga memberi porsi yang tak sedikit pada masalah pemikiran Islam ini. Mengingat kembali pernyataan beliau, “Masalah besar umat Islam sekarang ini adalah masalah ilmu yang berawal dari kelemahan umat Islam dalam memahami Islamic worldview.” Ya, ini tantangan besar yang terjadi dan dihadapi oleh umat Islam. Kalau kita hanya diam kemudian tak melakukan apa-apa, bisa jadi akan menjadi korban baru dari berbagai virus pemikiran.
Berbagai “isme” yang muncul akhir-akhir ini merupakan istilah yang berbunga-bunga dan penuh dengan janji. Janji tentang kehidupan damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda-beda latar sosial, budaya, ras, etnik, dan agama. Tentu saja, bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia, “isme-isme” tersebut memberi berbagai janji yang seakan-akan mendatangkan kemaslahatan. Padahal, itu hanya bohongan belaka. Semuanya hanyalah upaya pembohongan bahkan penyesatan publik, terutama umat Islam.
Saya hanyalah di antara manusia sekaligus rakyat biasa yang menonton bahkan kadang tercemari angin beliung “isme-isme” tersebut. Bahkan saya menyaksikan betapa tak sedikit kaum intelektual di dunia kampus dan tokoh-tokoh organisasi berlabel agama (Islam) yang serta merta mendalami, meyakini hingga meng-‘khotbahkan’ berbagai “isme” tersebut dengan nalar-nalar picik dan dangkal. Ya, menurut saya, mereka sangat picik dan dangkal. Ini bukan fitnah, tapi ini nyata.
Saya hanyalah satu kerikil kecil yang bercampur baur dalam ratusan juta umat manusia. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan saya merasa perlu untuk berbicara. Hal ini saya lakukan bukan untuk menyombongkan diri, apalagi untuk mempertontonkan keangkuhan. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengejahwantahkan keyakinan dan ketaatan saya kepada ajaran agama yang saya cintai yaitu Islam. Saya sangat rindu bertemu dengan Allah kelak dalam kondisi ceria bukan dalam kondisi masam dan seram karena saya membiarkan kemungkaran intelektual semakin merajalela. Jadi, izinkan saya berbicara—yang saya awali dengan pernyataan berikut: “Hey, lu yang muslim tapi sok ngelindur ke mana-mana. Ilmu tafsir, ilmu hadits and ilmu-ilmu yang lainnya dalam khazanah Islam aja belom lu baca and pahami… Tapi kok injil and buku-buku yang lain lu baca? Ga salah sih, tapi kacian aja ama diri lu. Ilmu dasar yang menentukan dunia-khiratmu lu jauhin. Yang paling aneh lagi nih, lu pernah bilang kalau lu itu gaul, toleran, pro sekularisme, pluralisme, liberalisme, feminisme and isme-isme yang lainnya (termasuk salome kali yah he he he). Tapi kok ga nerimo kritik, terus lu suka ‘monyong’ pada yang berbeda paham? Terus lu juga pernah bilang ahlusunnah wal jama’ah, tapi kok doyan ama bid’ah and ga ngikut pemahaman para ulama yang sesuai sunnah? Lu sendiri yang bilang poligami itu anti HAM, tapi kok masih rajin nikah-cerai and selingkuh? Bahkan konon ga sedikit yang sepaham dengan lu yang hamil di luar nikah. Terus ada yang keluarganya, terutama istri and anak-anaknya yang frustasi dan stress. Ga cukup di situ. Lu sering kampanyekan Islam rahmatan lil’aalamiin, tapi lu sendiri yang ga siap menerima orang yang berbeda dengan lu. Buktinya, kalau lu ngadain seminar atau kajian githu, lu ga segan-segan mencaci maki and menjelek-jelekin orang, organisasi and ormas yang lain selain milik lu. Ah lu, kalau ga punya duit ga perlu ngamen ke lembaga donor atau asing dengan menjual keyakinan (Islam) lu. Kacian ama hati nurani and keluarga lu sendiri. Apalagi kalau lu punya pengikut atau massa yang banyak, kan repot kalau lu membawa mereka ke jalan yang sesat. Hayo tobat aja deh!”
Ya, kini kata-kata makin kabur maknanya, tak jelas gelap terangnya. Seluruh rumusan ideologi menjadi begitu nisbi, yang sewaktu-waktu bisa diputarbalikkan sesuai dengan hasrat tirani dan hedonis yang disetir oleh yang duduk di singgasana. Kebenaran (al-Haq) dan kebatilan (al-Bathil) dicampuraduk dengan rekayasa sistematik oleh manusia yang “beriman” kepada pragmatisme dan permisifisme.
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat SMS undangan dari panitia sebuah seminar pendidikan di kampus IAIN Cirebon, Jawa Barat. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, pada seminar ini pemateri yang diundang menyuguhkan gagasan “isme-isme” secara gratis dan terbuka. Pada awalnya saya malu bertanya dan tak berani memberi intrupsi. Namun, karena kesabaran saya sudah mencapai derajat klimaks, saya pun berbicara juga. Pada sesi tanya-jawab saya langsung melakukan klarifikasi dan intrupsi terhadap pemateri. Yang membuat saya tersinggung adalah gagasan pluralisme agama yang disampaikan oleh pemateri. Dengan tanpa malu-malu pemateri langsung mengatakan bahwa paham ini adalah inti ajaran Islam dan paham yang sangat relevan; untuk itu menentang pluralisme agama sama dengan menentang Islam. Bahkan secara sepintas pemateri mengatakan bahwa semua agama itu sama, dan sama-sama benar. Karena itu, tak perlu meyakini ada agama yang benar. Waktu itu hati saya berkata seperti ini: Hm hm hm, kira-kira orang seperti ini rajin cuci muka engga’ ya? Kok, bodoh amat…! Atau apakah mereka mau menikahkan anak-anaknya dengan anak-anak umat agama lain selain Islam?
Ya, kini tak ada cara lain, kecuali berhadapan langsung secara frontal dengan “kata-kata” mereka. “Kata-kata” yang kemudian menjadi istilah dengan makna dan pesan yang terkandung di dalamnya membingungkan bahkan menyesatkan kita. Ini agenda serius dan jangka panjang. Berbagai elemen umat Islam dengan berbagai macam dan bentuk medianya, perlu mengambil peran. Kita perlu berada pada satu titik kesadaran perang pemikiran. Kita perlu menjadikan Qs. al-Baqarah ayat 42[9] dalam tulisan kita sebagai landasan berpijak, sebagai ancang-ancang dalam melangkah.
Ya, saya hadir untuk mendobrak kebekuan umat manusia agar segera bangun dari tidur lelap dan segera menentukan keberpihakan: Al-Haq atau Al-Bathil. Karena hidup ini berpatok pada keberpihakan. Saya belajar “memaksa” sekaligus “memprovokasi” siapapun untuk bangun dari kasur stagnasi dan segera berkarya. Karena semuanya mesti berkontribusi. Saya ingin menegaskan bahwa jangan sampai dengan alasan keragaman ada orang yang dengan mudah “memperkosa” sumber dan prinsip-prinsip Islam kemudian “menyesatkan” manusia (baca: umat Islam) yang lain. Jangan sampai ada orang dengan alasan toleransi dan keragaman kemudian dengan seenaknya mengatakan bahkan menyebarkan paham-paham yang keliru dan menyesatkan seperti Muhammad itu nabi orang arab, Al-Qur’an perlu diamandemen, metode tafsir para ulama klasik perlu diganti dan seterusnya. Mungkin Anda tidak percaya bahwa paham Liberalisme, Pluralisme dan sejenisnya adalah paham yang membolehkan seks bebas, nikah bedah agama, lesbian dan seterusnya. Tidak cukup di situ, bahkan mereka yang beragama dengan ”isme-isme” tersebut sudah berani mengatakan bahwa Al-Qur’an yang sekarang kita pakai perlu direvisi, hadits-hadits nabi yang terdapat dalam sahih Bukhari-Muslim itu adalah karya Muhammad sebagai manusia biasa bukan wahyu, jilbab dan menutup aurat adalah budaya Arab, ilmu tafsir dan ushul fiqh perlu dirubah agar sesuai zaman dan berbagai ide nyeleneh lainnya. Pada awalnya mereka bangga mengkampanyekan diri dengan istilah-istilah keren; Islam progresif, Islam transformatif, Islam Liberal, Pluralis dsb-nya. Padahal sadar atau tidak mereka sadari, mereka telah terperangkap gagasan orientalis. Jika ada yang memilih untuk “beragama” seperti itu, maka dengan berbagai upaya, saya mengajak Anda untuk melawannya secara intelektual. Tentu dengan mengendepankan adab-adab islami. Rasakan renyah dan gurihnya!
Bedah novel KEMI ‘Cinta kebebasan yang tersesat’ dengan menghadirkan Pak Adian Husaini tadi pagi adalah salah satu pilihan tepat.[10] Secara peribadi saya perlu mengapresiasi adik-adik mahasiswa di DEMA IAIN Cirebon dan kader-kader KAMMI Cirebon yang ikut terlibat dalam menyukseskan acara tersebut. Tentu, harapannya tidak berhenti di situ, karena perlu tindaklanjut. Katakan, misalnya, kajian-kajian lanjutan dengan berbagai macam pola. Semoga Anda bisa menjadi bagian penting dari agenda besar ini. Ini bukan soal satu atau dua ormas (tertentu), sebab ini adalah problem yang dihadapi oleh umat Islam semuanya.
Lebih, lanjut, Anda sendirilah yang menyimpulkan apa maksud tulisan ini. Saya hanya ingin mengajak Anda agar segera bangun dari kebekukan intelektual. Ini bukan zaman kuno, tapi zaman ilmu pengetahuan. Dan saat ini kita perlu membangun kembali semangat mencintai turats Islam dengan cara mendalami berbagai pemikiran dan karya para ulama yang otoritatif dan kompeten.
Demikian, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat, menambah pemahaman dan keyakinan kita kepada Allah Swt. dan ajaran-ajaran-Nya. Hanya dengan begitulah kita bisa berumur panjang—lebih panjang dari umur fisik kita. Mari menikmati gurihnya berdiskusi dan nikmatnya menyebarkan Al-Haq. Akhirnya—mengutip kata M. Natsir—“Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut!” []
Hostel Kandang Perahu, 28 Juni 2011
Pukul 13.00-15.00 WIB
[1] Sebagai pengantar pada acara Diskusi Pemikiran Islam pada Selasa 28 Juni 2011 di Cirebon, Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) IAIN Syekh Nurjati yang menghadirkan Dr. Adian Husaini, MA. dengan peserta kader KAMMI dan berbagai organisasi di IAIN Cirebon dan undangan.
[2] Kaderisasi KAMMI Pusat Periode 2011-2013, Penulis buku Merebut Masa Depan (Mitra Pemuda, 2011). Cp. 085 220 910 532, FB: Syamsudin Kadir
[3] Nama lengkapnya Dr. Adian Husaini, MA. Lahir di Bojonegoro Jawa Timur pada 17 Desember 1965. Alamat: Komp. Timah Blok CC V/100, Kelapa Dua, Depok-Jawa Barat 16951. Pendidikan: S-3: Doktor bidang Peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Judul disertasi: Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican Council’s Documents in The Light of The Ad Gentes and the Nostra Aetate. S-2: Hubungan Internasional Universitas Jayabaya Jakarta (Tesis: Pragmatisme Politik Luar Negeri Israel). S-1: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pendidikan lain: Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro, Pesantren Ar-Rasyid Kendal Bojonegoro, Pesantren Ulil Albab Bogor, LIPIA Jakarta. Aktitivitas: 1. Dosen di Program Pasca Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam—Universitas Indonesia; di Pasca Sarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2. Penulis tetap program ”CATATAN AKHIR PEKAN ADIAN HUSAINI” di Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com. Buku-buku yang sudah ditulis telah lebih dari 20 judul buku, di antaranya: 1. Pragmatisme Politik Luar Negeri Zionis Israel (2003), 2. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (2002), 3. Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta: GIP, 2004), 4. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (2005)—buku ini mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non-fiksi dalam Islamic Book Fair di Jakarta tahun 2006, 5. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006)—buku terbaik ke-2 dalam Islamic Book Fair tahun 2007 dan lain-lain.
[4] Amin Sudarsono, Ijtihad Membangun Basis Gerakan (2010), hal. 93-94
[5] UIN adalah singkatan dari Universitas Islam Negeri, selanjutnya ditulis UIN.
[6] INSIST adalah singkatan dari Institu te for the Study of Islamic Thought and Civilization, selanjutnya ditulis INSISTS. ISDIC adalah singkatan dari Indonesian Student Community for Development of Islamic Civilization, selanjutnya ditulis ISDIC. Dan PTAI adalah singkatan dari Perguruan Tinggi Agama Islam, selanjutnya ditulis PTAI.
[7] IAIN adalah singkatan dari Institut Agama Islam Negeri, selanjutnya ditulis IAIN.
[8] Nama lengkapnya Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil. Lahir di Gontor, 13 September 1958, adalah putra ke-9 dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Beliau juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institu te for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. dari International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Al-Ghazali’s Concept of Causality’, di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr. Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki, memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali.
[9] ”Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
[10] Bedah novel KEMI ‘Cinta kebebasan yang tersesat’ karya Dr. Adian Husaini, MA yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Institut dengan dukungan berbagai organisasi seperti KAMMI dan lain-lain dilaksanakan pada Selasa, 28 Juni 2011 pukul 08.30-12.00 WIB dengan tema: “Membendung Arus Pemikiran Islam Liberal di IAIN Syekh Nur Jati Cirebon”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sponsor
Labels
9 Naga
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Al Kahfi
Bahasa Arab
Bakrie
Chandra Baturajo
Dalil
Despacito
Ekonomi
Fakta
Fauzul
Fiqih
gagal
Hak
Imsakiyah
Indonesia
Jaket KAMMI
Jusman Dalle
KAMMI Aceh
KAMMI Bandung
KAMMI Bekasi
KAMMI Madani
KAMMI Sleman
KAMMI UGM
Kesehatan
Kura-kura
Lapindo
Lirik
Masjid
Media
Mukernas KAMMI
Murobbi
Muslim
Nazarudin
Opini
Pemikiran Islam
pendidikan
Politik
Rajawali
Ramlan Nugraha
RCTI
Rekaman
Rekayasa
Sari Roti
Seword
Sirah
Sirah Nabawiyah
Syamsudin Kadir
Tokoh
Ummu Ahmad
Uum Heroyati
Vivit Nur Arista Putra
Yodivalno Ikhlas
Yum Roni Askosendra
No comments:
Post a Comment