Serangan Nazarudin melalui BBM dari negeri antah berantah memasuki babak baru. Kali ini presiden SBY sekaligus ketua dewan pembina partai demokrat dan ketua DPP Anas Urbaningrum dibuat gerah oleh ulah bendaharanya. Via SMS yang disebarkan ke wartawan, Nazar mengabarkan bahwa Anas hendak mengkudeta SBY. Selain itu, Edhi Baskoro sekjen partai yang mengaku nasionalis dan religius ini juga dikatakan hanya sebagai boneka Anas untuk melanggengkan kepentingannya. Bagi-bagi uang suap pun menyeruak dibeberkan demi pilicin kemenangan Anas dalam kongres di Bandung setahun silam.
Kasus yang mendera internal partai biru-biru ini merupakan yang terbesar dialami partai besar berkuasa dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Apalagi setali tiga uang yang merembet begitu cepat ke lain perkara seperti isu pecah kongsi elit partai, Andi Nurpati yang terseret dugaan surat palsu MK, Angelina Sondakh yang disebut terlibat suap korupsi di Sesmenpora, hingga prahara yang menimpa Azidin dan kader Demokrat lainnya lantaran korupsi.
Mengritisi kasus di muka, pertama penulis berpendapat elit politik Indonesia tidak memberikan keteladanan. Kasus korupsi yang menimpa beberapa kader Demokrat sangat kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang dikumandangkan SBY sendiri. Bagaimana publik dapat percaya terhadap janji partai pemerintah memberangus korupsi, sebagai extra ordinary crime jika rumah tangganya sendiri terungkap menilap uang rakyat. Pertanda anomali kehidupan bangsa kian merata, setelah hukum tanpa nurani yang memenjarakan Prita dan rakyat yang semakin kisruh main hakim sendiri karena stres tak mampu pecahkan persoalan hidup.
Kedua, kepak burung Nazar (udin) yang membuat SBY turun gunung ialah sinyal oligarki partai yang masih menggejala. Yakni kewenangan partai yang hanya disetir beberapa orang saja. Layaknya orde baru dengan Golkar yang mengendalikan eksekutif dan legislatif melalui tangan Soeharto. Figuritas memang penting, tetapi tidak selamanya suatu partai terus menggantungkannya. Demokrat akan terkena dampaknya di kontestasi pemilu 2014 kala SBY secara konstitusi tak diizinkan maju lagi. Imbasnya konvensi terbuka pun bakal digelar. Jika tak ada kader internal yang kuat, tidak menutup kemungkinan tokoh sipil lainnya siap tampil. Termasuk adik Ibu Ani Yudhoyono, yaitu Pramono Edhi Baskoro yang baru saja dilantik menjadi KSAD yang digadang-gadang dipersiapkan menuju RI-1.
Ketiga, digelarnya konferensi pers berisi pidato SBY merespon huru-hara politik yang disebabkan Nazarudin mencerminkan buruknya manajemen konflik partai. Sebagaimana diutarakan La Ode Ida (Ketua DPD), kesibukan SBY mengurus internal partai adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung tokoh publik yang rangkap jabatan. Selayaknya waktu, fikiran, dan tenaga SBY tercurah semata untuk mengurus rakyat dan cukuplah Anas unjuk gigi meresponnya. Semoga ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua agar pandai mengatur skala prioritas publik dan privat. Wallahua’lam.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
CP: 085228302376
akuvivit.blogspot.com
No comments:
Post a Comment